Dewasa ini, objek wisata alam banyak digemari oleh wisatawan pasca corona. Hal tersebut, menciptakan dampak positif bagi destinasi wisata itu sendiri maupun lingkungan sekitarnya. Adanya peningkatan pengunjung pada objek wisata tertentu juga berdampak pada pembangunan di wilayah tersebut. Hal ini, disebabkan masyarakat dan investor ingin memfasilitasi wisatawan yang berdatangan dengan bangunan-bangunan baru seperti sarana, prasarana, dan atraksi lainnya.
Adanya bangunan khusus pariwisata biasanya mengonsumsi energi (listrik, air, dll) yang lebih besar daripada rumah penduduk asli. Hal ini, merupakan tantangan bagi developer dan arsitek untuk menciptakan bangunan dengan sustainable architecture atau biasa disebut dengan arsitektur berkelanjutan.
Bangunan dengan arsitektur berkelanjutan dapat dicirikan dengan penggunaan bahan bangunan seperti jerami, bambu, kayu, tanah liat, dan bahan lokal lainnya. Selain itu, dapat juga dengan menerapkan bangunan tanpa kaca dan penggunaan ventilasi alami serta pencahayaan siang hari.
Penggunaan kembali bangunan lama juga dapat menjadi salah satu bentuk sustainable architecture. Penggunaan kembali bangunan yang sudah ada dapat mempertahankan lahan hijau sehingga tidak banyak mengubah alam sekitar. Arsitek dapat mendesain ulang bangunan tersebut agar terlihat lebih menarik dengan mengacu pada ciri arsitektur berkelanjutan.
Sustainable architecture didukung dengan adanya Peraturan Menteri Pariwisata Nomor 14 Tahun 2016 tentang Pedoman Destinasi Pariwisata Berkelanjutan yang telah menetapkan empat kategori untuk destinasi pariwisata berkelanjutan di Indonesia, yaitu:
- Pengelolaan destinasi pariwisata berkelanjutan, yang mencakup kriteria perencanaan, pengelolaan, pemantauan, dan evaluasi.
- Pemanfaatan ekonomi untuk masyarakat lokal, yang mencakup kriteria pemantauan ekonomi, peluang kerja untuk masyarakat lokal, partisipasi masyarakat, opini masyarakat lokal, akses bagi masyarakat lokal, fungsi edukasi sadar wisata, pencegahan eksploitasi, dukungan untuk masyarakat, dan mendukung usaha lokal dan perdagangan yang adil.
- Pelestarian budaya bagi masyarakat dan pengunjung, yang mencakup kriteria perlindungan atraksi wisata, pengelolaan pengunjung, perilaku pengunjung, perlindungan warisan budaya, interpretasi tapak, dan perlindungan kekayaan intelektual.
- Pelestarian lingkungan, yang mencakup kriteria risiko lingkungan, perlindungan lingkungan sensitif, perlindungan alam liar (flora dan fauna), emisi gas rumah kaca, konservasi energi, pengelolaan air, keamanan air, kualitas air, limbah cair, mengurangi limbah padat, polusi cahaya dan suara, dan transportasi ramah lingkungan.
Kesadaran masyarakat sekitar, pemilik, arsitek, dan developer dalam pembangunan di area wisata sangat dibutuhkan untuk menciptakan arsitektur berkelanjutan ini. Dengan adanya sustainable architecture, diharapkan pariwisata dapat tumbuh, wisatawan dapat menikmati objek wisata dengan lebih nyaman, dan yang paling penting ialah tidak merusak alam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H