Yogyakarta, 1942. Kota ini tengah berada dalam guncangan akibat penjajahan Jepang, namun jalanan kota yang berdebu tetap ramai. Sore itu, sinar matahari yang terik menyinari deretan rumah-rumah tradisional yang sudah mulai pudar warnanya, dan di antara hiruk-pikuknya, Ayudhia Ratnasari berjalan menyusuri trotoar yang penuh dengan orang-orang pribumi yang bekerja untuk para kolonial. Pedagang kaki lima, buruh yang membawa barang berat, serta para pembantu rumah tangga berlarian menuju tujuan mereka masing-masing, sementara para Belanda tampak tenang di kendaraan mewah mereka.
Ayudhia, meskipun seorang gadis pribumi yang terdidik, merasa dirinya seperti bagian dari mereka. Di tengah ketegangan yang ada, dirinya tetap harus bekerja keras, berusaha untuk membantu keluarga dan menjaga harga diri. Pakaian adat yang dikenakannya, meskipun mencerminkan latar belakang keluarga yang terhormat, tidak dapat menutupi kenyataan bahwa ia tetaplah seorang pribumi yang dianggap lebih rendah oleh para kolonial. Namun, pendidikan yang dimilikinya tidak bisa dipandang sebelah mata. Ayudhia memiliki pengetahuan yang luas, terutama dalam bahasa Belanda dan sejarah, berkat didikan ayahnya yang sangat menjunjung tinggi pendidikan.
Hari itu, seperti biasanya, Ayudhia berjalan menuju pasar untuk membeli bahan makanan. Cuaca yang panas tidak menghalanginya. Namun, langkahnya terhenti ketika ia melihat seorang pria Belanda yang berdiri di tengah kerumunan. Pria itu tampak berbeda dari Belanda lainnya. Rambut pirang dan mata biru yang tajam, namun tidak ada tanda kesombongan pada wajahnya. Dia bukanlah seorang pejabat atau tentara Jepang, tetapi seorang bangsawan Belanda yang tampaknya baru turun dari mobil mewahnya.
Pria itu menatapnya, dan Ayudhia merasakan sebuah ketegangan yang asing. Saat mata mereka bertemu, ia merasakan desiran yang tak biasa. Gadis itu tahu bahwa dirinya bukanlah siapa-siapa di hadapan orang asing ini. Namun, ada sesuatu yang berbeda tentang pria itu—sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan.
"Willem de Janssen," suara pria itu terdengar tenang, namun penuh wibawa. "Apakah Anda baik-baik saja, Nona?"
Ayudhia terkejut mendengar sapaannya dalam bahasa yang halus. Di tengah hiruk-pikuk kota yang panas, sapaan itu terdengar seperti bisikan yang lembut. Tanpa sadar, Ayudhia terdiam sesaat, sebelum akhirnya mengangguk singkat.
"Nama saya Ayudhia Ratnasari," jawabnya pelan. "Ada yang bisa saya bantu, Tuan?"
Willem menatapnya dengan pandangan yang tidak biasa. Bukan pandangan seorang Belanda yang memandang rendah seorang pribumi. Tidak ada kebencian atau kebanggaan dalam matanya, hanya ketulusan yang aneh. "Saya hanya ingin tahu lebih banyak tentang kota ini. Tentang kehidupan kalian, tentang Yogyakarta," jawab Willem sambil tersenyum tipis.
Ayudhia memandangnya sekilas. Mungkin, ia pikir, pria ini hanya ingin tahu tentang kota yang sekarang berada di bawah kendali Jepang. Namun, ada sesuatu dalam nada bicaranya yang membuatnya merasa bahwa pria ini lebih dari sekadar seorang kolonial biasa.
"Yogyakarta adalah tempat yang kaya akan budaya," jawab Ayudhia dengan pelan. "Namun, hidup di bawah penjajahan bukanlah sesuatu yang mudah. Kami berjuang untuk bertahan."
Willem terdiam sejenak, menatap gadis itu dengan mata yang seakan mencoba memahami. "Saya tahu. Saya mendengar banyak hal tentang kalian, tentang perjuangan yang sedang berlangsung," ujarnya dengan suara yang tenang, hampir seperti ia berbicara dengan seorang teman.