Lihat ke Halaman Asli

Elki Anja aulia

mahasiswa s1 di universitas uin saizu purwokerto

Problematika Dakwah di Era Revolusi Industri 4.0 dan Solusinya

Diperbarui: 28 Mei 2024   13:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Istilah "revolusi industri 4.0" mengacu pada globalisasi dan kemajuan teknologi yang tiada henti. Perkembangan dakwah Islam yang berbasis media digital sangat terbantu pada periode ini. Banyak digunakan oleh akademisi, dosen, dan pemuka agama. KH dan Profesor Quraish Shihab. Ceramah Mustafa Bisri (Gus Mus) sudah tersedia. Begitu pula dengan Nissa Sabyan yang viral dan ditonton jutaan orang di YouTube, sedangkan Ustas Abdul Shomad (UAS) melejit popularitasnya. Kita sekarang berada di era dakwah 4.0. Perilaku manusia juga dipengaruhi oleh kemajuan teknologi. Karena berita digabungkan dengan cerita yang kebenarannya belum dijelaskan di media sosial, munculnya berita di platform ini berarti bahwa setiap berita benar-benar tabayyun, atau diklarifikasi kebenarannya. 

Wajar jika masyarakat harus terinformasi di tengah maraknya pemberitaan hoaks dan berita bohong di media sosial yang diproduksi oleh kelompok Fasiq dan meminta penjelasan, Tabayyun, agar kedepannya mereka dapat menggunakan platform media sosial yang lebih sehat untuk melakukan hal tersebut. mendengarkan berita sebenarnya. Hoax harus ditolak. Namun permasalahannya masih banyak yang belum mengetahui bagaimana cara membedakan berita palsu dan berita asli. Kampanye edukasi masyarakat dengan menggunakan konten yang lebih kredibel di media sosial diperlukan mengingat semakin banyaknya misinformasi yang dikonsumsi. Dalam hal ini, terdapat beberapa indikator berita palsu, seperti konten yang bernada berlebihan, bernada permusuhan, dan judul atau topik yang mencemarkan nama baik yang meremehkan kelompok tertentu. 

Cara terbaik untuk memerangi tipuan adalah dengan berhenti membagikan informasi yang salah setelah Anda memilikinya, alih-alih mempercayai kebenarannya. Terlepas dari keharusan berdakwah di media online dengan seimbang. Jika berita palsu terus mendominasi media sosial, hal ini harus diimbangi dengan menyebarkan berita terverifikasi melalui kampanye viral, menyajikan konten keagamaan dengan tujuan membuat orang masuk Islam, atau membuat situs web yang informasinya dapat dibagikan di media sosial. Solusi yang ditawarkan adalah dengan mengajukan perspektif jurnalisme profetik atau jurnalisme profetik, faktanya informasi yang disajikan dapat dipertanggungjawabkan dan isi beritanya merupakan realita atau peristiwa nyata. Seorang jurnalis sebagai penyebar berita harus mempunyai ciri-ciri amanah, siddigh, fathonah dan tabligh. 

Bahasa jurnalisme profetik berdasarkan bahasa AlQuran, antara lain; qaulan kariman, qaulan ma'rufan, qaulan balighan, qaulan maysura, qaulan layyinan, qaulan tsaqilan, qaulan sadidan, qaulan adziman hingga ahsanul qaulan. Menurut Harjani Hefni, bahasa dalam komunikasi Islam yang dapat diangkat melalui penggunaan bahasa jurnalistik yang jelas, tegas, memuat fakta dan menghindari opini akan mendidik atau mencerdaskan masyarakat. Bagaimana masyarakat kini asyik dengan euforia media sosial dan mulai mengabaikan media arus utama, yang merupakan ancaman sekaligus peluang asalkan dikelola secara positif. Dari penelitian ini terlihat jelas bahwa persoalan dakwah memerlukan kemampuan memprediksi kemajuan teknis seiring dengan kemajuan pola komunikasi, yang harus diimbangi dengan inisiatif dakwah yang fleksibel. Landasan dasar untuk melestarikan tradisi keagamaan dan mendorong individu berperilaku lebih baik terdapat pada prinsip-prinsip agama. 

Meskipun demikian, dakwah digital juga penting. Jawabannya adalah dengan menggunakan strategi komunikasi Islami untuk menciptakan dakwah yang lebih kreatif. Komunikasi Islam menurut Harjani Hefni sangat mengandalkan fungsi persuasi diantara banyak tujuan vital lainnya. Kemampuan membujuk orang lain agar menerima ide, sikap, dan pemikiran Anda tanpa menggunakan kekerasan atau paksaan dikenal dengan fungsi persuasif. Teknik argumen (jidal) dan wacana (hiwar) dapat digunakan untuk mencapai tujuan ini. Media sosial dalam menghadapi kelebihan informasi digital memerlukan tindakan penanggulangan terhadap hoaks yang mendukung konten keagamaan dan memberikan kepercayaan kepada masyarakat terhadap informasi yang diberikan. Dengan melakukan klarifikasi sebelum berita bohong beredar luas, proses tabayyun bisa diantisipasi bila terjadi kelainan.

Dengan berpegang pada prinsip dan tujuan komunikasi Islam yaitu persuasi, pengingatan kembali, arahan, inspirasi, dan informasi jurnalisme kenabian dan komunikasi Islam berfungsi sebagai landasan fundamental untuk melawan propaganda keagamaan di media sosial. Tugas-tugas ini diselesaikan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan informasi yang akurat. Ketika media sosial menjadi semakin nyata, diperlukan kesadaran dan kecerdasan untuk meresponsnya guna menghentikan disinformasi. Masyarakat perlu mewaspadai tanda-tanda berita palsu, yang mencakup materi yang sangat kontroversial, permusuhan terhadap kelompok tertentu, dan sumber berita yang meragukan. 

Menurut standar jurnalistik, unsur berita 5 W + 1 H diabaikan dan sebagian besar berisi opini tanpa kutipan atau informasi pendukung. Bahkan dengan ancaman kematian dan surga, pembaca terpaksa menyebarkan berita palsu. Pada tahap ini, gerakan dakwah perlu didorong secara teknologi guna menangkal penyebaran propaganda dan informasi palsu berkedok agama, yang dilakukan demi alasan komersial, politik, atau bahkan kelangsungan hidup kelompok. Di era digital yang memunculkan media sosial, persoalan dakwah adalah itu Karena keterbatasan pemahaman masyarakat, masyarakat dapat menyebarkan informasi yang menyesatkan melalui video atau artikel berita, atau mengambil gambar yang hanya menggambarkan sebagian peristiwa sehingga menimbulkan kesan peristiwa yang berbeda dengan kenyataan. Bahkan kejadian viral yang dipublikasikan secara luas berpotensi menyesatkan masyarakat jika dibagikan secara online. 

Oleh karena itu, jika penyerapan materi yang menghasut dianggap sebagai fakta atau kebenaran, kegembiraan dan bahkan euforia yang terkait dengan penggunaan media sosial bisa berubah menjadi berbahaya. Namun jika konten yang diberikan akurat, maka hal tersebut justru dilihat sebagai sebuah peluang yang bisa dikelola secara kreatif dengan mengandalkan akurasi dan kecepatan. Pada kenyataannya, masyarakat menerima pendidikan untuk berbicara lebih bermoral dengan tujuan




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline