Analisahukum.com - Amanat UUD 1945 negara menyatakan “bumi, dan air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Di antara kekayaan alam “yang terkandung di dalamnya” itu terdapat kandungan berupa mineral dan batu bara. Mineral dan batubara merupakan kekayaan alam tak terbarukan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai peranan penting dalam memenuhi hajat hidup orang banyak.
Di awal-awal kemerdekaan, pertambangan Indonesia nyaris dikuasai seluruhnya oleh bangsa asing. Hal ini tentu mengundang kecemasan dan keanehan. Adalah Mr. Teuku Mochammad Hasan orang yang memotori pengajuan mosi kepada pemerintah terkait pertambangan (Laurens, 2012). Dari sini, muncul UU No 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan Belanda, lalu disusul dengan UU No 37 Prp Tahun 1960 tentang Pertambangan, dan peraturan lain yang berkaitan. Kemudian lahir UU No 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan yang akhirnya dihapus oleh UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambagnan Mineral dan Batubara.
Seiring implementasinya—sebagaimana peraturan lainnya, UU inipun dirasakan belum menjawab berbagai persoalan dan kebutuhan hukum khususnya yang berkaitan langsung dengan pengelolaan mineral dan batu bara. Ketidakpuasan masyarakat terhadap UU a quo terlihat jelas dari upaya mereka untuk menguji pasal demi pasal dalam UU tersebut. Apemindo merupakan salah satu pihak yang mendaftarkan uji materi (judicial review) pasal 102 dan pasal 103 ayat (1) UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara di Mahkamah Konstitusi (tribunnews.com, 2014).
Tidak datang hanya dari satu pihak, banyak pihak mencoba menguji peraturan tersebut. Bahkan sebelumnya Isran Noor, Bupati Kutai Timur, juga menguji UU a quo. Sejumlah pasal dalam UU Minerba dianggap bertentangan dengan UUD 1945 (hukumonline.com, 2012). Fatriansyah Aria dan Fahrizan, Zuristyo Firmadata, Nico Plamonia, dan Johardi adalah penggugat lain yang permohonannya dikabulkan. Pertanyaannya, kemanakah arah UU a quo sebenarnya sehingga dengan mudahnya dibatalkan sebagian pasalnya oleh MK?
Sebagaimana yang penulis kemukakan di atas, maka politik hukum UU No 4 Tahun 2009 ini mesti sejalan dengan Konstitusi, dimana pengelolaan pertambangan mineral dan batu bara semetinya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hal ini dijawab dengan pasal 3 huruf e UU a quo bahwa tujuan UU ini bertujuan meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan negara, serta menciptakan lapangan kerja untuk sebesarbesar kesejahteraan rakyat.
Kemakmuran rakyat didefenisikan dengan tersedianya lapangan kerja dan meningkatnya pendapatan mereka. Hal ini meski dibentengi dengan tujuan lain, dimana UU ini bermaksud menumbuhkembangkan kemampuan nasional agar punya daya saing, faktanya malah melemahkan kedaulatan negara. Di banyak bidang, negara ternyata tidak punya cukup modal dan SDM untuk mengelola SDA-nya. Akhirnya, alih-alih menguasai, UU a quo malah terpaksa tunduk pada pemodal besar. Kemakmuran rakyat pun akhirnya bergantung kehendak perusahaan.
Lapangan kerja mungkin saja tersedia, pendapatan rakyat juga mungkin akan meningkat, tapi hal itu tentu tidak sebanding jika negara atau rakyatnya sendiri yang mengelolanya. Hal inilah yang sebelumnya tercium jelas oleh banyak pihak. Misalnya pasal 22 UU No 4 tahun 2009 tentang kriteria untuk menetapkan WPR menyebutkan, “Merupakan wilayah atau tempat kegiatan tambang rakyat yang sudah dikerjakan sekurang-kurangnya 15 (lima belas) tahun.” Ini tentu tidak logis dan menempatkan rakyat kecil serendah-rendahnya. Rakyat diasumsikan seperti “hewan” yang memakan nasi sisa.
Di lain tempat, pasal 52 UU a quo menyebutkan bahwa “Pemegang IUP Eksplorasi mineral logam diberi WIUP dengan luas paling sedikit 5.000 hektare dan paling banyak 100.000 hektare.” Bunyi pasal ini berpotensi (bahkan sudah terjadi) dikuasainya lahan di suatu daerah oleh pemilik modal besar, sedangkan pemodal kecil (rakyat), tidak akan mampu memenuhi syarat ini. MK sebagai lembaga pengawal konstitusi akhirnya memutuskan pasal 22 dan 52 tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Putusan Nomor 25/PUU-VIII/2010 ini bukan sekedar soal judicial review, jauh dari itu telah meluruskan arah pembentukan UU yang sesuai dengan dasar dan cita-cita bangsa.
Putusan 25/PUU-VIII/2010 ini selain berdampak secara praktis, juga mengharmoniskan fakta sosial dan teori hukum, atau seakan membuka peluang diterimanya positifisme terhadap sosiologi hukum, juga sebaliknya. Hukum sebagai tool of sosial engenering, akhirnya juga merespon, mengikuti, dan berupaya sejalan dengan fakta sosial. Dengan begitu, keadilan sebagaimana yang ditolak oleh mazhab positifisme, paling tidak dirasakan oleh masyarakat berdasarkan nilai dan defenisi yang mereka bangun.
Terakhir, tujuan UU No 4 Tahun 2009 ini menurut penulis baiknya juga mengarahkan masyarakat agar lebih produktif dalam pengelolaan pertambangan. Dalam pasal 3 huruf e UU a quo semestinya bertujuan mendorong partisipasi masyarakat untuk mengelola pertambangan, meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan negara, serta menciptakan lapangan kerja untuk sebesarbesar kesejahteraan rakyat. Tujuan ini lebih sejalan dengan putusan 25/PUU-VIII/2010 dan tujuan dasar konstitusi negara ini menurut penulis. Dengan begini, UU No 4 Tahun 2009 baru dapat dikatan memakmurkan rakyat sebagaimana kutipan UUD di pembuka tulisan ini.
Sumber: http://analisahukum.com/?p=88