Oleh: Elkana Goro Leba, S. Sos, MPA
Mahasiswa Magister Manajemen dan Kebijakan Publik
FISIPOL UGM Yogyakarta
Tulisan ini terinspirasi karena akhir-akhir ini email saya penuh dengan spam. Ketika saya membaca spam-spam itu ternyata berasal dari salah satu artikel di blog saya dipenuhi dengan komentar yang berisi pengeluhan dari sahabat-sahabat saya yang belum beruntung masuk kuliah. Mereka mengeluh karena mereka tidak bisa kuliah dengan alasan karena orangtua tidak bisa membiayai, ada pula yang orangtuanya mampu tetapi menyesal karena putus kuliah di tengah jalan, entah karena terlena dengan pergaulan yang kurang baik dan lain-lain sebagainya.
Komentar itu membuatku terharu dan merasa betapa beruntungnya saya bila dibandingkan dengan sahabat-sahabat saya ini. Bisa sekolah, kuliah dan kuliah lagi hingga ke UGM yang notabene kampus idaman sebagian orang di negeri ini. Wah, saya sangat bersyukur atas itu semua. TUHAN merancang itu dengan sangat indah. Tetapi bersamaan dengan itu, terlintas di pikiran saya pertanyaan ini “apakah benar seperti yang mereka katakan ilmu dan kesuksesan itu hanya ada di ruang kelas dan bangku kuliah?”. Pertanyaan ini seakan menjadi lebih dalam ketika saya terus membaca dan memahami komentar-komentar dari sahabat-sahabat saya itu yang mengatakan bahwa mereka hidup susah karena tidak kuliah, mereka seperti tidak ada harapan dan merasa rendah ketika bertemu dengan teman-teman lama yang sudah sarjana, master bahkan doktor. Seakan tidak ada jalan lain menuju pintu sukses itu. Kemudian saya bertanya lagi:
Apa Artinya Kuliah? Untuk apa jadi sarjana?
Jadi sarjana berarti jadi orang pandai. Saya mencoba melihat kembali ke belakang, dan mengingat kelakuan-kelakuan sebagian mahasiswa yang memaksa saya bertanya lagi. Apa artinya kuliah ketika ada orang-orang yang pergi kuliah dengan secarik kertas dalam saku, tidak punya pena, tidak punya buku, tas-tas penuh dengan make up dan tissue, bahkan dalam tas itu tidak terdapat buku dan pena. Buku tulis saja tidak ada, apa lagi buku cetak/bacaan. Apa artinya kuliah kalau bagi orang-orang yang bangun dari tempat tidur, mandi dan tidak tahu hari ini mata kuliah apa dan dosen siapa yang mengajar. Apa artinya kuliah kalau kampus hanya jadi tempat mabuk-mabukan, pergi kuliah dengan aroma alkohol, jadi ajang unjuk kekuatan fisik bukan kekuatan pikiran (ilmu)? Apa artinya kuliah kalau selama bertahun-tahun di kampus tidak pernah mencatat nama di buku tamu atau pengunjung perpustakaan, buru-buru mau jadi pengunjung, kartu member perpustakaan saja tidak ada. Apa artinya kuliah kalau kampus hanya dijadikan tempat untuk unjuk gaya, pacaran bulan ini pacar lain-bulan depan pacar lain, kampus jadi seperti sebuah wadah yang menunjukkan bahwa mereka laku dan mampu menaklukkan hati para cewek/cowok walaupun hanya modal kendaraan keren hasil jerih payah orang tua. Unjuk gaya dengan dress dan sepatu mahal setiap bulan, kampus seperti panggung reality show yang hanya gosip dan unjuk kemewahan. Apakah kuliah itu hanya ajang unjuk kemampuan fisik ketika ospek mahasiswa baru? Apa artinya kuliah kalau mahasiswanya mengheningkan cipta ketika dosen kasih kesempatan untuk bertanya? Apakah itu yang namanya kuliah?
Untuk apa jadi sarjana kalau selama jadi mahasiswa harap gampang. Semua ilmu dan materi harap dosen dan belajar di kelas. Tidak punya niat untuk belajar di luar kelas, untuk mencari tahu tentang silabus perkuliahan yang dipelajari besok dan seterusnya. Apa gunanya jadi sarjana yang tidak mempunyai kreativitas, hanya update status di medsos yang tidak berkualitas, tidak ada kontribusi apa-apa di lingkungan baik organisasi rohani maupun organisasi kemasyarakatan lainnya. Apakah masih dapat disebut orang pandai (defenisi Sarjana menurut KBBI) kalau masih mandi keringat ketika diminta bicara di depan umum? Apa bedanya dengan orang yang tidak sekolah kalau hanya duduk-duduk di pinggir jalan, mabuk-mabukkan bisanya ganggu cewek-cewek yang lewat. Untuk apa jadi sarjana kalau dalam keluarga saja tidak produktif, bangun pagi jam 9/10, bermalas-malasan, tidak punya aktivitas lain selain maen game di gadget dan komputer, jalan-jalan dan tidak tahu berbuat sesuatu yang minimal berguna dan positif bagi diri sendiri. Apakah itu yang namanya Sarjana?
Kemudian sambil merenungkan itu, saya ingat pada sebuah artikel yang berjudul “Orang-orang “gila” yang menjadi miliader dunia”. Awalnya saya kaget baca judul artikel ini. Setelah baca dan pahami, ternyata ada tiga sosok yang saya paling kagumi diangkat dalam artikel itu, yakni Ibu Susi Pudjiastuti, Andrie Wongso dan Eka Tjipta Widjaya. Ibu Susi tidak tamat SMA tetapi bisa membangun usaha penerbangan Susi Air yang kurang lebih mempunyai 50 pesawat dengan memperkerjakan sekitar 180 pilot dalam dan luar negeri dan sekarang menjadi Menteri dan ide-idenya yang orang anggap anti-mainstream tetapi inovatif untuk membangun bangsa ini, Andrie Wongso, SD pun tidak ditamatkannya tetapi menjadi motivator handal dengan gaya bicara yang sederhana tetapi full power, Eka Tjipta Widjaya orang dari keluarga miskin yang hanya pendidikan SD dan kini menjadi konglomerat yang menghidupi 70ribuan karyawan dalam sekitar 200 perusahaan termasuk mereka yang sarjana juga jadi karyawannya. Atau miliader dunia lainnya yang putus kuliah seperti Bill Gates (owner dari Microsoft), Mark Zukerberg (owner facebook), Larry Ellison pengusaha yang tidak menyelesaikan kuliah tetapi mempunyai harta 28 miliar US dollar, dan ribuan bahkan jutaan orang lain yang tanpa gelar sarjaana tetapi menjadi konglomerat dunia.
Dari catatan-catatan itu, pertanyaan saya di atas terjawablah sudah, Ilmu dan Kesusksesan Tidak Hanya ada di Bangku Kuliah. Tergantung dari niat kita dalam mengembangkan diri. Di era yang canggih ini, dunia hanya ada di ujung jari. Apa pun yang sahabat-sahabat cari, semua ada di perpustakaan dunia (google dan sejenisnya). Sekolah bukan tidak penting, sekolah itu sangat penting, tetapi bila tidak bisa kuliah atau sekolah, apakah kita harus terus-menerus menyesali itu? Tidak. Mungkin pintu lain tertutup tetapi terkadang kita terlalu lama terpaku di pintu yang tertutup itu dan tidak bisa melihat ribuan pintu sukses lain yang terbuka. Terlalu sibuk melihat kesuksesan dan kelemahan orang lain, lupa melihat diri kita bahwa kita juga lemah dan sebenarnya bisa jadi sukses.
Terkadang juga ada orang dengan begitu bangganya bila masuk ke perguruan tinggi negeri terbaik. Seakan-akan itulah kunci sukses dalam studinya. Yah, memang benar, itu menjadi salah satu yang perlu dibanggakan, tetapi apakah artinya perguruan tinggi terbaik bila kita tidak belajar? Perguruan tinggi yang pas-pasan pun bisa menghasilkan output (lulusan) terbaik bila mahasiswanya niat mengembangkan diri, tidak harap dari dosen di kelas saja. Untuk apa menyandang gelar sarjana tetapi tidak mempunyai kontibusai apa pun bagi diri, keluarga dan lingkungannya bila orang yang tidak sekolahpun mempunyai niat untuk mengembangkan diri? Jadi, bila tidak bisa kuliah karena alasan orangtua tidak mampu, mungkin ada jalan lain, seperti beasiswa dan atau sahabat-sahabat mempunyai kegemaran (passion) di bidang lain, ada baiknya dikembangkan untuk jadi sukses. Jadi, Ilmu dan Kesusksesan Tidak Hanya ada di Bangku Kuliah.
*sekali lagi, tulisan ini tidak bermaksud mengatakan sekolah/kuliah itu tidak penting*
sumber artikel: www.pegiatliterasi.com
atau disini: https://www.pegiatliterasi.com/2015/02/sukses-itu-tidak-semata-mata-ada-di.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H