Suatu masa dalam kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab, negeri Arab dilanda paceklik. Hujan lama tak turun, tanah lama kering kerontang, tanaman pertanian mengering, dan banyak hewan ternak yang mati kehausan. Keadaan saat itu sungguh memprihatinkan. Sudah menjadi kebiasaan bahwa hampir tiap malam, Khalifah Umar melakukan perjalanan secara diam-diam. Ia masuk-keluar perkampungan untuk mengetahui keadaan rakyatnya. Malam itu, ditemani sahabatnya, Aslam, Khalifah Umar memasuki kampung kecil di tengah gurun. Dari sebuah rumah sederhana, terdengar tangis memilukan seorang anak. Langkah Umar pun terhenti. Kemudian beliau mengajak Aslam ke arah suara tangis itu.
"Mungkin penghuninya butuh pertolongan," katanya kepada Aslam.
Kebetulan pintu terbuka. Khalifah Umar melihat seorang ibu sedang memasak. Api di tungku menyala-nyala. Si ibu sibuk mengaduk-aduk isi panci yang dijerang di atasnya.
"Assalamu'alaikum," Khalifah Umar memberi salam.
Si ibu terkejut dan ia menoleh seraya membalas ucapan salam dari Khalifah Umar. Namun ia tidak beranjak dari tempatnya. Khalifah Umar lantas bertanya, "Siapa yang menangis di dalam, Bu?"
"Anakku," jawab si ibu.
"Apakah dia sakit?" tanya Khalifah Umar lagi.
Si ibu menggeleng. "Dia kelaparan," katanya pelan.
Khalifah Umar dan Aslam saling berpandangan. Mereka duduk di depan rumah selama hampir satu jam. Akan tetapi, makanan yang dimasak si ibu tak juga matang. Karena penasaran, Khalifah Umar kembali bertanya, "Sebenarnya apa yang ibu masak? Mengapa tidak juga matang?"
Baca juga: Kisah Ratu Balqis dan Nabi Sulaiman