"isin (malu) aku, mosok dikenal sebagai anak gunung" seru Tina tiba-tiba. "memangnya kenapa to nduk?" ibunya bertanya sambil merapikan kemeja batik yang baru saja selesai disetrika. "ya, malu aja bu, temen-temenku itu anak kota semua. Kalau mereka tahu aku asli anak gunung, mereka pasti bakalan ngejek" sesekali dibenamkannya wajah manis itu ke bantal. "maaf, ibu nggak tahu soal yang begitu, ibu pikir ya nggak apa-apa". Perbincangan itu berakhir dengan nada ketus dari Tina. **** Namaku Martinah, tapi aku lebih suka dipanggil Tina, lebih gaul kedengarannya. Sudah berada di Jakarta sekitar 3 bulan, aku bekerja sebagai salah satu asisten rumah tangga, tempat ibu bekerja juga. Aku tidak mengaku asliku darimana karena aku malu. Ketika ditanya ya jawab saja dari Yogyakarta. Teman-teman pasti terkesima karena keindahan dan keunikan tempatnya. Tapi semua rencanaku sedikit terganjal gara-gara ibuku. Iya, dia banyak bercerita pada teman-teman kalau kami berasal dari desa terpencil di daerah Yogyakarta. Tempat dimana orangnya banyak yang suka makan belalang, kulitnya hitam, tanahnya tandus dan sering terkenal dengan kekurangan air. Aku langsung naik darah, apa yang akan mereka pikirkan tentang aku setelah mendengar itu semua. Malam ini, aku seakan terbayang esok hari yang penuh ejekan. Aku coba memejamkan mata ini dan berharap tidak mimpi buruk gara-gara ini. *** Pagi menjelang dan aku mulai merasa lebih deg-degan daripada semalam. Seperti biasa, tugas pagiku adalah menyapu halaman depan dan menunggu tukang sayur. Entah apa yang aku pikirkan, aku masih termangu di depan kamar mandi hingga suara nyonya besar mengagetkanku. "Tin, buruan ditunggu Mang Ujo, mau beliin sayur bayam buat Dodi nanti" suara cemprengnya membuatku terkejut. "baik nyah...saya segera ke depan" kulangkahkan kakiku dengan lemas. Dari jauh terdengar suara Mang Ujo dan teman-teman. Hatiku deg-deg ser tak karuan, malu dan takut diejek. Tiba-tiba Lina memanggilku, "hei cah Gunungkidul, sinilah...kita cerita soal pantai yang disana". Aku tersentak dan segera menghampirinya. Senyumku mulai merenggang dan ternyata semua jauh dari perkiraanku. Mereka mulai bertanya tentang keasyikan makan belalang, pasir putih di pantai Gunungkidul dan banyak lagi. Aku tidak pernah menyangka itu. Rasanya ingin berterimakasih sama ibu, berkat beliau aku jadi bisa berbagi cerita dengan teman-teman. Rasanya, aku akan selalu merindukanmu dan tetap MENCINTAIMU, GUNUNGKIDULKU.... *martinah di ujung ibukota* (tulisan ini saya dedikasikan untuk seluruh warga Gunungkidul dimanapun dan untuk Kabupaten kita tercinta, Gunungkidul....SELAMAT ULANG TAHUN ke 182 tahun, tetap HANDAYANI....serta mengenang 7 tahun gempa Jogja)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H