Lihat ke Halaman Asli

Cafta dan Turbulensi Ekonomi Indonesia

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi merupakan sebuah instrument vital dalam hubungan antar bangsa. Bertolak dari Teori klasik yang dicetuskan oleh Adam Smith di tahun 1776 dalam bukunya yang begitu termasyhur dan berpengaruh, “An Inquiry Into The Nature And The Causes Of The Wealth of Nation” menyatakan bahwa manusia sebagai homo economicus yang egosentris akan selalu berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dan keuntungan pribadi sebesar mungkin dari apa yang dimilikinya. Karakter yang seperti ini akan mengarah pada kreativitas yang optimal dan dengan sendirinya terjadi alokasi yang efisien pada faktor-faktor produksi, kebebasan, dan pemerataan apabila pemerintah tidak ikut campur sedikitpun (mekanisme pasar bebas).

Namun teori ini lambat laun kian tertinggal zaman. Hanya berlaku pada suatu bagian saja, dan tidak berlaku pada bagian yang lain. Menurut seorang ekonom kenamaan, Kwik Kian Gie, teori Adam Smith hanya berlaku untuk barang-barang yang homogen, misalnya barang di toko kelontong. Selebihnya, mekanisme seperti ini akan melahirkan kutub ekstrimis dan memiliki kecenderungan tinggi akan kecurangan, dan ketidakmerataan ekonomi.

Integrasi ekonomi global

Globalisasi yang menjadikan kehidupan tak pandang batas geografis, juga turut menggeser kebijakan-kebijakan ekonomi politik antarbangsa. Teori Regional Economic Arrangement yang diinisiasi dengan FTA (Free Trade Area) muncul ketika sekelompok negara bersepakat menjalankan suatu perserikatan ekonomi dimana negara-negara tersebut secara bersama-sama meningkatkan biaya masuk terhadap barang-barang dari negara nonanggota, namun pada saat yang sama justru “menghalalkan” perdagangan intern dalam keanggotaan perserikatan ekonomi tersebut.

Awal mula lahirnya CAFTA

Tanggal 6 November 2001 bertempat di Bandar Sri Begawan, Brunei Darussalam, suatu pertemuan digelar oleh negara-negara anggota ASEAN dan Republik Raktat China yang melahirkan sebuah kesepakatan tentang kerjasama ekonomi dan pendirian sebuah wilayah perdagangan bebas antara ASEAN dan China yang dibebut CAFTA (China-Asean Free Trade Area). Kesepakatan tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan penandatanganan kerjasama ekonomi antarnegara ASEAN dan China, dan telah dilaksanakan pada awal tahun 2010 yang lalu.

Diskusi CAFTA di Ruang Senat Rektorat oleh guru besar dan dosen IPB

Belajar dari Negeri Tirai Bambu

Sebelum berpanjang lebar tentang dampak CAFTA , banyak sekali pelajaran yang dapat kita ambil dari sebuah hegemoni China. China merupakan sebuah pusat peradaban manusia. Disanalah awal mula budaya penciptaan kertas (budaya literasi:baca tulis) yang mengantarkan penemunya menjadi orang ke-4 yang paling berpengaruh di dunia.

”Besarnya populasi China secara teori ekonomi akan menurunkan pendapatan perkapita masyarakat. Tantangan bagi pemerintah China yang popolasinya “raksasa” adalah babgaimana meminimalkan penggangguran dengan menerapkan mekanisme ekonomi “lets produce”, apapun itu. Oleh karenanya tak heran jika kita temui banyak sekali barang disekitar kita berbandrol buatan China. Mulai dari boneka, bolpen, hingga peniti. Dari sikap itulah, perdagangan China berkembang dengan percaya diri, terbentuk secara damai, dan menciptakan kemakmuran. Sementara di Indonesia, baik pelaku ekonomi maupun pemerintah kurang percaya diri (gengsi bahkan, untuk memproduksi peniti atau jarum pentul sekali pun), membangun dengan friksi dan konflik, serta hanya sebatas mengimpikan kemakmuran.” ujar Prof. Dr. Ir. Endang Gumbira Said, MA. Dev.

Prof. Egum, panggilan akrab guru besar satu ini juga mengkomparasikan tingkat penghambat bisnis di China dan Indonesia. Hal yang sangat lumrah terjadi di China, kerena hambatan timbul dari akses finansial. Namun agak membuat wajah merah padam ketika tahu bahwasannya ketidakefisienan birokrasi pemerintah, minimnya infrastruktur, instabilitas kebijakan, dan korupsi mendominasi penyebab prematurnya bisnis di Indonesia.

Dari segi kebangkitan teknologi, China memiliki karakter unik daripada negara-negara maju lainnya. Betapa tidak? Lembaga riset di China (Litbang) berakronim elit dan membanggakan, sementara di Indonesia berakronim sulit berkembang. China sangat serius melakukan percobaan manufaktur dan setelah lolos uji kelayakan, produknya dilempar ke pasaran dengan low cost production. Pertumbuhan industri China juga kian subur dengan menejemen nilai tambah dan penciptaan nilai yang apik, yaitu mengawinkan bioteknologi, nanoteknologi, dan IT dengan berbasis pada produktivitas dan keragaman produk.

Pelaksanaan CAFTA menimbulkan keuntungan hipotetik bagi Indonesia. Jumlah populasi China yang mencapai 1,3 milyar jiwa tentunya “rakus” terhadap apa saja, utamanya barang konsumsi, yang menjadi pasar tersendiri bagi Indonesia. Peluang ekspor komoditas dan produk spesifik Indonesia berpotensi meningkat. Namun secara finansial CAFTA mengakibatkan defisit neraca perdagangan Indonesia sejak tahun 2004, dan pada tahun 2008 defisit neraca perdagangan mencapai USD 7,2 milyar. Pada tahun itu juga ekspor China ke Indonesia meningkat 652%, sedangkan Indonesia hanya meningkat sebesar 265%, dan secara rata-rata lima tahun, penjualan produk China meningkat hingga 400%.

CAFTA menurut kajian Dedi Budiman Hakim

Sudah terlalu lambat mengatakan tidak ataupun panik menyikapi CAFTA. Mentalitas masyarakat Indonesia yang kebakaran jenggot ini merupakan sikap yang tidak visioner dan tidak solutif.

Beliau menawarkan dua alternatif solusi. Pertama, konsep low cost production yang diterapkan China merupakan suatu kelemahan yang dapat ditarik menjadi solusi jangka pandek. Pada Agutus 2002-2003, AS menolak 1785 kapal pengangkut makanan dari China, karena terindikasi mengandung residu pestisida, higienitas yang rendah, adanya zat aditif yang berbahaya, dan kontaminasi akibat penyalahgunaan obat-obat veteriner. Melalui mekanisme filter tersebut, diharapkan mampu menjadi kontrol barang-barang China yang masuk secara akselaratif. Namun yang perlu diperhatikan, bahwa “alasan” pemberlakuan SPS dan TBT haruslah rasional dimata negara lain. Masyarakat Indonesia yang sebagian besar gemar beranggapan “lebih baik mati keracunan daripada mati kelaparan” rasa-rasanya tidak masuk akal jika secara mutlak menerapkan standar keamanan dan kesehatan yang setinggi langit. salah satu yang cukup rasional dilakukan adalah pemberlakukan standar kehalalan dan kesegaran. Selain itu juga perlu melakukan pembatasan pelabuhan impor agar barang China tidak masuk secara liar di Indonesia, melainkan telah melalui mekanisme yang legal. Juga penguatan karantina dan staf bea cukai untuk memberantas praktik KKN sehingga pungli-pungli tersebut tidak menggelembungkan biaya produksi barang-barang Indonesia. Kedua, alternatif kebijakan jangka panjang adalah melakukan penyesuaian struktural yang meliputi low production cost, insentif, dan dukungan lingkungaan sosial politik.

Urun Rembug para Akademisi tentang CAFTA

Pagi itu, semua lini akademisi, baik Guru besar, Dosen, dan juga mahasiswa berkumpul untuk malakukan pengajian dampak tentang CAFTA, utamanya terhadap sektor pertanian. Dan sebagai langkah pasti akan menghimpun pemikiran-pemikiran tersebut dalam sebua buku yang dapat diajdikan alternatif kebijakan bagi stakeholder.

CAFTA mungkin saja bagaikan treatment khusus bagi Indonesia untuk saatnya melek,melakukan evaluasi dan benahan diri terhadap sistem dan manajeman yang selama ini dilakukan. Menurut Pak Parulian dan Pak Deddy, rantai perdagangan di Indonesia masih semerawut. Pedagang dan pengusaha yang selalu bersikap oportunis dan mobile ibaratnya memeras petani maupun produsen.Bisnisnya bisa saja akan langsung ditinggal jika ada lini bisnis lain yang lebih menguntungkan. Oleh karena itu, perlu sebuah komando sistem yang dimotori oleh pemerintah.

Contohnya antara lain, Komando sistem yang dilakukan oleh pemerintah Jerman memuat ketentuan bahwa penanaman modal dilakukan di bidang yang masa balik modalnya cukup lama (misalnya baja, otomotif), sehingga investor tidak seenaknya sendiri keluar masuk bisnis ini. Alhasil, tercipta sistem yang stabil.

Belum beranjak dari topik peranan negara, menurut Pak Hasyim, DEA, China menjadi seperti seperti itu karena menteri perdagangan China tak hanya pintar, tapi juga cinta rakyatnya. Jika jalan-jalan keluar negeri, akan membawa oleh-oleh untuk rakyatnya, dan berujar “kerjakan ini, buatlah ini”.

Konklusi

Secara teoritis, dari berbagai telaah mungkin dikatakan bahwa dibukanya CAFTA ini tak akan memberikan pengaruh yang terlalu berarti terhadap Indonesia. Namun kita perlu berhati-hati, karena banyak sekali tipu dalam analisis. Tiga aktor pelaku KKN adalah penguasa yang menyalahgunakan kekuasaannya, pengusaha rakus yang menghalalkan segala cara, dan ilmuan yang dusta. Sangat berbahaya apabila seorang scientific bayaran memoles sebuah kebijakan terlihat aman, padahal tidak bisa dicerna secara rasional hal tersebut benar.

Indonesia memiliki kekuatan yang sangat besar, yaitu daya saing spiritual Indonesia. Kecerdasan spiritual yang terlatih, yang dianalogikan dengan angka “nol”, akan membagi bilangan apapun menjadi bilangan yang tak terhingga besarnya, memangkatkan bilangan apapun menjadi 1 kekuatan yang tak terkalahkan, dan menajamkan nurani sehingga bangsa ini tak lagi miskin keberpihakan. Keberpikahan yang selayaknya milik orang yang yang lemah dan tertindas. Akankah benar bahwa dilaksanakannya CAFTA akan menggiring sistem ekonomi kita seperti yang dicetuskan oleh Adam Smith diatas? Bisa saja iya, jika kita terhanyut oleh mainstream yang sekarang kian berkembang, bisa juga tidak, jika kita menjadi insan Indonesia yang cerdas spiritual, dan cinta pada bangsanya.

Nur Elisa Faizaty

Agribisnis 45

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline