Nobar Marathon di HUT KOMiK (Kompasianers Only Movie enthus(i)ast Klub) ke 5 satu dari dua kegiatan. Pertama jelajah Museum Naskah Proklamasi-Munasprok, makan siang lalu lanjut Nobar Marathon. Rasanya ini kali pertama saya mengikuti ulang tahun Komik. tapi sudah beberapa kali mengikuti kegiatan nontonnya. Kegiatan ulang tahun Komik ke 5 yang dilaksanakan tanggal 18 Agustus 2019, Di mulai di Museum Proklamasi. Ini bukan kali pertama saya ke Munasproki tapi tetap saja menyenangkan bisa kembali datang dan menikmati rangkaian sejarah terkait sejarah perumusan naskah proklamasi dan orang-orang di dalamnya.
Bangunana Munasprok, awalnya didirikan tahun 1920 dengan gaya arsitektur Eropa. pada masa kependudukan Jepang, bangunan ini menjadi tempat tinggal Laksamana Muda Tadashi Maeda. Selaku Kepala Kantor Penghubung antara Angkatan Laut dengan Angkatan Darat. Sejarah Indonesia mencatat Laksamana T. Maeda, sebagai salah satu orang yang berperan aktif dalam mendukung kemerdekaan indonesia. dalam hal ini mengizinkan rumahnya digunakan untuk berdiskusi dan merumuskan naskah Proklamasi.
Eh tahukah anda, kalau Laksamana T Maeda ternyata beristri orang Jawa? Info ini di dapat dari anak kandung laksamana T. maeda yang datang ke Munasprok dan menjelaskan kalau, Ayahnya menikahi perempuan Jawa. Itu sebabnya di salah satu foto tergambar Laksamana T Maeda berpakaian Jawa. Misteri, terjawab sudah. sayang putranya tak mau menginformasikan nama ibunya, si orang Jawa ini.
Puas berkeliling Munasprok, termasuk puas mendapat info dan berfoto-foto, perjalanan dilanjutkan makan siang di rumah makan legendaris gado-gado bonbin yang sudah ada sejak tahun 1960. awalnya saya mengira ini keputusan yang keliru karena tempat makan ini terbilang kecil. sedangkan rombongan ada sekitar 20 orang. tapi pemikiran saya keliru. Memang kecil tapi ya cukup. dan rasanya gado-gadonya emang juara. Rumah makan ini sudah masuk dalam destinasi kuliner Jakarta. Jadi nggak heran wisatawan mancanegara juga berdatangan.
Seporsi gado-gado lontong plus kerupuk udang dan telor rebus Rp. 35.000. Harga yang lebih mahal dibanding gado-gado pada umumnya. Tapi rasanya yang emang juara membuat harga itu layak. Kurang dari 30 menit, saya dkk, selesia menyantap seporsi gado-gado lontong dan es teh manis. perjalanan, kali ini benar-benar jalan kaki menuju XXI TIM. Sejarah KOMIK akan mencatat kalau rombongan KOMIK hari ini, adalah terakhir kali menonton di XXI TIM, karena besok, tanggal 19 Agustus tidak lagi beroperasi.
Nobar Perburuan dan Bumi Manusia, 5 jam.
Apa yang terjadi, mohon maaf nyaris 3/4 film perburuan saya tertidur. Entah mengapa melihat Adipati Dolken di film Perburuan, malah membuat saya ngantuk. Padahal saya menaruh harapan banak untuk film ini. Tapi saya juga menyadari film yang diangkat dari buku, tidak sama. Atau sutradara yang kurang baik mengaplikasikan kisah ini ke layar lebar? saya nggak ahli dalam mengkritik film karena bukan bidang saya. tapi sebagai pembaca buku dan penikmat film, saya memaklumi ada gap yang sulit dipecahkan. Membaca buku, imaginasi kita bermain dan membentuk sosok toko cerita dalam ruang imajinasi. Ketika sutradara mengangkat ke layar lebar dan sosok imajinasi kita nggak sama dengan interpretasi sutrada, maka sebuah lubang kekecewaan terbuka dan sulit ditutup
Bumi Manusia, Novel karya Pramoedia Ananta Tur yang sudah tamat saya baca sejak puluhan taun lalu. Sama seperti perburuan, sosok tokoh dalam ruang imajinasi saya berbeda dengan interpretasi sutradara. Tapi entah mengapa, saya luamayan larut dalam menonton Bumi Manusia. Pertama mungkin karena banyak dialog dalam bahasa Belanda yang terdengar ditelinga saya membuat saya nyaman. karena serasa saya mendengar Mama dan Papa saya ngobrol. Kostum para pemainnya juga enak dilihat. Kalau jalan ceritanya ya nggak jauh berbeda dari apa yang saya baca.
Hanung Bramansyo selaku sutradara saya anggap lumayan cerdas menghidupkan surabaya jaman dulu. Dari sekian banyak tokoh dalam Film Bumi Manusi, pemeran Tokoh Darsam dan Nyi Ontosoroh, menurut saya paling mirip dengan imajinasi saya. Darsama, penjaga setia sang Nyai hingga nyawapun dikorbankan. Sedangkan tokoh Minke yang diperankan Iqbal, jauh banget dari imajinasi saya. Ya nggak bisa disalakan sih, apalagi pamor Iqbal masih beraura Dilan. Barangkali sudah saatnya Hanung mulai mengaudisi dari talent di luar list artis. Perburuan mungkin suatu hari di remark biar bisa lebih enak ditonton pun Bumi Manusia. Film Kartini saja banyak versi, nggak ada salahnya lain waktu dibuat ulang. Sejarah nggak pernah basi, nasionalisme perlu terus dibangun, ditumbuhkan dan dihidupkan.