[caption id="attachment_175995" align="alignright" width="300" caption="koleksi geosya.blogspot.com"][/caption] Gagalnya Menkumdang dalam upaya pengetatatan remisi bagi napi koruptor melukai keadilan masyarakat banyak. Berdasarkan uu tiap napi yang sudah menjalankan hukumannya berhak mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat sesuai aturan. Itu benar. Tapi coba mundur ke belakang, apakah peradilan bagi para koruptor ini di Pengadilan Tindak Pindana Korupsi sudah berjalan sesuai aturan. Berdasarkan aturan pula, Kementrian Hukum dan Perundang-undangan tidak diperkenankan intervensi dalam persidangan para koruptor. Padahal kondisi sekarang korupsi sudah merata di semua tingkatan. Baik di tingkat Legeslative (Anggota DPR/MPR) Eksekutive (Menteri dan pejabat negara) maupun Yudikatif (MA, Kehakiman, Kejaksaan, ) Para korputor mungkin saja mendapatkan sanksi ringan, selain karena Tim pembelanya pandai, bisa jadi komponen dalam persidanganpun sudah di "beli". Dari ke tiga komponen Trias Political, yang mana yang bersih dari koruptor? Tidak ada. Jadi bagaimana masyarakat tahu Pengadilan Tindak Korupsi berjalan dengan fair? Pembela para koruptorpun bukan orang bodoh. Dan keseringan jaksa penuntut yang dibodohi (Atau sengaja membodohkan diri hingga tampil bodoh dan kalah) Sehingga para korputor ini tidak mendapatkan hukuman yang setimpal. Persidangan berjalan sesuai hukum dan bukti hukum. Kalau buktinya Tidak ada yang tidak bisa dihukum. Para koruptor ini akan di hukum dengan hukuman ringan (Di bawah 5 tahun) dengan remisi bisa-bisa sebelum 3 tahun juga sudah bebas. Maka dalam masa hukum yang hanya sebentar itu, satukan dalam sel para koruptor ini dengan perampok, pembunuh yang karena miskin, karena lapar, karena tuntutan anak dan istri mereka jadi perampok dan pembunuh demi sesuap nasi. Kan sama-sama narapidana. Berikan sanksi sosial seberat-beratnya dengan memajang di billboard, media cetak lokal mapun nasional, gambar para koruptor dengan keluarganya bukan hanya istri dan anak-anaknya kalau perlu dengan ayah-ibu, kakek nenek juga kakak adiknya. Pasang pengumuman dimana- mana agar jangan bekerjasama dalam bisnis karena salah satu anggota keluarga ini adalah KORUPTOR!. Jangan lihat faktor meringankan seperti, belum pernah di hukum, punya keluarga, pekerjaannya baik dan lain sebagainya dan lain sebagainya. Bayangkan uang yang diambil berkaitan dengan jabatannya, baik itu gratifikasi atau mark up nilai project atau apapun yang ujung-ujungnya si koruptor mendapatkan uang yang bukan dari gajinya. Dari uang tersebut, banyak orang yang bisa di beri makan. Banyak sekolah bisa di renovasi, banyak sarana jalan bisa diperbaiki, banyak puskesmas akan mendapatkan fasilitas yang baik dan dengan menggunakan material yang sesuai ketentuan, sarana umum bisa bertahan dengan lebih lama. Itu berarti kesejahteraan rakyat meningkat. Tidak ada koruptor yang bodoh. Karena kepandaian merekalah maka korupsi terjadi. Kemampuan mereka mengatur sitem sehingga sebuah tindakan korupsi tidak akan terlihat pada orang yang biasa-biasa saja. Korupsi akan terasa dan terlihat pada mereka yang pandai juga. Persoalannya orang pandai yang tau telah terjadi korupsi tidak memiliki akses seperti para koruptor itu. Jadi mengapa para koruptor ini masih boleh menggunakan Hak Azasi Manusia untuk pembelaannya? sedangkan dengan membayar kembali uang yang di korupsi kepada negara tidak secara otomatis menghapuskan perbuatan jahat para koruptor. Para koruptor tidak tahu akibat sarana jalan yang rusak di pelosok Indonesia timur ada bayi dan ibu yang tidak terselamatkan, runtuhnya jembatan Kukar yang belum lagi berusia 5 tahun? Keterbatasan masyarakat di pedalaman papua, NTT, Sulawesi untuk dapat akses kesehatan karena tidak ada puskesmas, ada banyak anak-anak harus melewati sungai yang berbahaya untuk menuntut ilmu karena jembatan rusak. Mengapa..? Karena dana-dana yang seharusnya diperuntukan pembangunan uangnya di korupsi! Jadi masihkah para koruptor ini boleh menggunakan HAM sebagai dasar pembelaannya? Berapa banyak pelanggaran HAM yang mereka lakukan dengan mengkhianati sumpah jabatan? demi menghidupi anak-istri keluarga besarnya. Sita harta koruptor dan sisakan sesuai kepemilikan berdasarkan gaji selama menjabat di kurangi pengeluarannya dan harta sebelum menjabat. Elisa Koraag 12 Maret 2012.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H