Judul film: Ode To My Father atau Gukje Sijang
Negara asal: Korea Selatan
Sutradara: Yoon Je-Kyoon
Pemain:
Hwang Jung-Min sebagai Deok-Soo
Kim Yunjin sebagai Young-Ja
Oh Dal-Su sebagai Dal-Goo
Jung Jin- Young
Jang Yeong - Nam
Ra Mi -Ran
Kim Seul -Gi
Tae In-Ho
Kim Sun-Young
Distributor: CJ Entertainment.
Di luncurkan pertama kali: Desember 2014
Kisah ini memperlihatkan bagaimana cinta dan bakti seorang anak pada orangtua dan keluarga. Sebuah nilai moral yang rasanya mulai pudar di Indonesia. Film ini patut di tonton semua orang, untuk mengembalikan kepada sebuah ajaran, cinta antara anak dan orangtua pun sebaliknya cinta orangtua pada anak adalah sebuah perbuatan yang tak bisa dinilai dengan apapun. Sudah seharusnya cinta itu ada dan terus ditumbuhkan dalam setiap keluarga.
Berlatar belakang perang Korea yang menjadikan Korea terbagi dua, Korea Utara dan Korea Selatan. mengisahkan sebuah keluarga yang terpisah. Perpisahan aapun alasannya selalu meninggalkan luka. Luka yang tertinggal bisa menjadi motivasi menjadi yang terbaik atau sebaliknya larut dalam kedukaan lalu hancur.
Sebuah keluarga terdiri dari ayah, ibu dan empat orang anak. Anak laki-laki tertua Deok-Soo menggandeng adik perempuannya Masoon. Ayah menggendong satu anak lelaki dan ibu menggendong satu anak perempuan. Bersama orang sedesanya mereka menuju kapal yang akan mengangkut mereka meninggalkan desa yang sudah dikuasai Tiongkok.
Untung tak dapat di raih dan malang tak dapat ditolak, Masoon si adik yang berada dalam gendongan sang kakak, terlepas saat sang kakak berjuang menaiki tanggal tali. Ayah dan ibu sudah di atas. Sebagai kepala keluarga yang berkewajiban melindungi keluarga, sang ayah berniat mencari Masoon. Bocah lelaki yang merasa bersalah ingin mengikuti ayah mencari adiknya. Sang ayah mengatakan sebagai anak laki-laki tertua, ia wajib menjaga ibu dan adik-adiknya. lalu sang ayah turun dari kapal. Kapal besar tak menunggu sang ayah yang masih mencari anak perempuannya. Terpisahlah keluarga tersebut.
Alur cerita dibuat maju mundur. Melenakan penonton yang di bawah berpindah-pindah masa. Tapi alur ini cukup sukses membuat penoton tertawa, merenung bahkan banjir air mata.
Sama seperti cerita klasik lainnya, penggambaaran situasi terpisah selalu menimbulkan kisah suka dan duka. penonton di bawah tersenyum getir melihat kelucuan yang menyedihkan. Perjuangan bocah kecil yang menyimpan "rasa bersalah" karena merasa menjadi penyebab hilangnya sang adik dan sang ayah. mendorong bocah kecil menjadi pekerja keras dan mengabdi bagi ibu dan kedua adiknya.
Menjadi pekerja tambang di Jerman, nyaris celaka tapi di sini juga yang membuatnya menemukan sang istri. Kisah perang yang dibumbui kisah romantis dan kelucuan sahabat selalu menjadi sisipan yang menyenangkan. Menjadi pekerja di Vietnam yang masih berperang, bahkan berhadapan dengan sang paman, suami si Bibi yang berniat menjual toko sumber penghidupan mereka. Membuat Deok-Soo semakin keras berjuang dan berusaha mempertahankan toko dengan pilihan membeli dari pamannya.
Beberapa bagian diperlihatkan pengambilan gambar yang kolosal, pemain dalam jumlah banyak dengan sudut pandang yang luas. Saya nyaris beberapa kali menahan napas, melihat gambar-gambar dalam film ini. Saya hanyut ke dalam cerita.
Terutama pada bagian, ketika sang adik perempuan ingin menjual rumah karena menginginkan pesta pernikahan. Ada perasaan marah dalam diri saya, ini adik kok nggak tau diri banget ya. Si kakak sudah bekerja keras sehingga mereka sekeluarga bisa hidup lebih baik, kok masih belum cukup. Tapi sebagai janji pada sang ayah si kakak, rela berangkat ke Vietnam demi mencari uang. Larangan ibu dan istri tak di dengarnya.
Tangis haru penonton seperti saya yang gampang banget banjir air mata, tak tertahan mana kala Sang Adik yang terjatuh dari kapal ditemukan. Sang adik sudah tak dapat berbahasa Korea, karena dulu saat terjatuh di selamatkan tentara Amerika lalu diadopsi keluarga Amerika. Tapi rupanya ada kalimat yang selalu disimpan sang adik, yaitu pesan sang kakak agar berpegangan kuat-kuat karena mereka bukan sedang bermain-main di taman. Pesan yang diucapkan sang adik alam bahasa Korea menjadi penjelasan akhir, bahwa ia memang si adik yang dulu terpisah saat terjatuh sebelum menaiki kapal.
Awalnya saya berpikir ini adalah twist akhir cerita, ternyata masih ada kejutan kecil yang menjawab mengapa si tokoh utama sangat marah ketika mengetahui sang paman akan menjual tokonya.
Ada rasa marah, kesal dan rasa sakit yang sulit digambarkan lewat kata-kata, yang pada akhirnya diperlihatklan manakala sang bocah lelaki sudah menjadi kakek. Menangis tersedu-sedu sambil memeluk baju yang dipakaikan sang ayah sebelum turun dari kapal. Kerinduan pada sang ayah tak pernah terobati. Rupanya sesaat sebelum turun bukan cuma pesan harus menjaga ibu dan adik, sang ayah berpesan untuk mmenemukan adik perempuannya yang mempunyai toko di Busan. dan tunggu di sana karena ayah akan datang. Sang ayah tak pernah kembali. Pemikiran dan keyakinan sang ayah tak kembali ketika si tokoh utama Deok-Soo, menyadari ayahnya sudah terlalu tua untuk datang mencari, karena iapun sudah menjadi kakek.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H