Setiap nafas yang kurasakan aku selalu merindukan pelangiku, selalu mencari-cari segalanya yang kubutuhkan darinya. Cintanya.
Dialah pelangiku karena tak seorangpun bisa menyentuhnya selain aku. Tak ada seorangpun yang diperbolehkannya untuk sekedar meliriknya. Ia selalu mengatakan bahwa ia adalah milikku.
Pelangi...
Malam itu aku kembali dalam heningku. Kucoba meraba-raba lorong imajinasiku untuk hanya sekedar mendambanya ada disampingku. Aku kosong dan tak berarah sekarang.
"Ernest!" Suara itu tak asing lagi bagiku,
"Masuklah!" Jawabku dan kubiarkan Pelangi masuk ke dalam kamarku.
"Kamu udah minum obatnya?" tanya Pelangi kepadaku. Iya, dia adalah dokterku.
"Udah kok." kataku, pelan seperti biasa, pelan dan lemah.
"Hanya memastikan kamu minum obatnya. Gimana hari ini?" Senyumannya mulai terkembang perlahan,
"Biasa aja Lan."
"Lain kali kamu jalan-jalan aja disekitar rumah sakit! Kan bisa ditemenin pacar kamu. Siapa namanya?"
"Bintang." Jawabku datar,
"Iya-iya, Bintang."
"Males Lan, aku maunya sama kamu!" Aku mulai meminta dan kulihat wajah pelangi berubah menjadi kemerahan, dan ia terlihat malu-malu. Aku tak mau lagi bersama Bintang, terakhir kali Justin, sahabatku memergokinya sedang selingkuh. Aku percaya karena ia tak pernah melupakan bukti di setiap kasus. Sungguh ironis bagiku. Sekarang yang penting aku dan Pelangi. Tidak ada satupun orang yang menggantikannya.
Dulu aku dan Pelangi pernah menjadi sepasang kekasih ketika SMA. Waktu itu aku masih sangat sehat dan bahagia. Waktu itu juga Pelangi masih sangat lugu dan lucu hingga akhirnya kami berpisah karena aku memutuskan untuk kuliah di Australia dan dia kuliah di Jerman.
Jarak yang begitu jauh membuat kami tidak bisa melanjutkan hubungan cinta ini. Sebenarnya bukan kami tapi aku karena hingga sekarang Pelangi belum mendapatkan penggantiku. Padahal semua orang tahu kalau ia begitu cantik, cerdas dan menawan. Semua cinta ditolaknya tanpa alasan. Kali ini aku merasa sungguh berdosa.
Aku sendiri sudah berganti pasangan berkali-kali dan yang terakhir dengan Bintang, gadis yang memiliki watak yang hampir sama dengan Pelangi. Aku bertemu dengannya ketika aku sedang membaca di perpustakaan kampus, di Australia. Ia benar-benar suka membaca, ia adalah mahasiswi Filsafat dan benar-benar paham betul dengan apa yang ia cari, dan aku sendiri seorang mahasiswa Teknologi Informasi yang tergila-gila dengan komputer melebihi apapun.
Setelah aku lulus, aku bekerja di sebuah perusahaan sebagai programer dan setiap hari setiap waktu aku bercinta dengan komputerku, bertahun-tahun, melupakan kekasih satu-satunya hingga pada titik jenuhnya aku terkapar di depannya. Waktu itu jam menunjukkan pukul dua dini hari dan aku masih mengerjakan pekerjaanku yang tak kunjung usai. Entah mengapa kepalaku sangat pusing, mataku mulai buram dan tubuhku sakit semua. Biasanya ini bukan apa-apa bagiku tapi waktu itu aku langsung jatuh pingsan dan aku juga mimisan -itu juga tidak pernah terjadi padaku-.
Keluargaku panik dan membawaku ke rumah sakit. Aku tak tahu apa yang dilakukan dokter hingga ketika aku sadar, aku harus menerima kenyataan pahit ini. Aku mengidap Leukemia stadium lanjut.
Awalnya aku merasa bisa mengatasinya, tapi tubuhku tidak. Aku tetap merasa lelah sepanjang waktu, rasanya ingin tertidur padahal pekerjaanku amat sangat banyak hingga tak ada waktu istirahat. Aku mulai cemas dengan keadaan ini, aku sering limbung dan terjatuh begitu saja, belum lagi kalau aku merasakan sakit disekujur tubuhku. Dokter menyarankan agar aku melakukan kemo terapi, tapi aku menolak karena efek setelahnya adalah momok bagiku hingga akhirnya Pelangi datang setahun lalu. Ia memaksaku dengan caranya.
Pelangi termasuk dokter spesialis muda, usianya dua puluh sembilan tahun sekarang. Ia spesialis kanker dan sangat pandai untuk membujuk pasiennya melakukan apapun yang benar-benar harus dilakukan. Aku melihatnya, ia tampak cantik dengan jas dokternya. Aku mau ikut kemo dan menanggung resikonya hingga segalanya merupakan suatu hal yang biasa untukku. Aku selalu muntah, pusing, lemas, dan rambutku rontok, itu juga sudah biasa bagiku asal ada Pelangi disampingku.
Pelangi yang hidupnya selalu berwarna...
Kurasakan tangannya menyentuh pipiku, tangannya sedikit kasar namun hangat. Itu caranya menenangkanku ketika aku sedang dalam kondisi buruk, apalagi sekarang. Aku akan selalu buruk, aku terlalu lemah hanya untuk sekedar berdiri sendiri, tubuhku penuh lebam dan tulangku nyeri. Kurasa aku sudah akan pergi secepatnya.
Aku pernah mendengar ketika Pelangi berbicara dengan ibu, umurku tinggal beberapa hari lagi. Dua tahun sudah aku mengidap penyakit ini dan beberapa hari lagi aku bisa bebas selamanya.
Orang bilang aku bisa sembuh dengan operasi namun sampai sekarang belum ada donor sumsum tulang belakang untukku, hanya ibu yang bisa namun ia tidak mencukupi kriteria kesehatan. Aku tidak masalah kalau harus pergi, toh masih ada kakakku, Thalia yang bisa menjaga ibu yang sekarang sudah menjanda setelah ayahku pergi.
"Nes, kamu harus makan sesuatu nak!" ibuku memaksaku untuk makan, namun aku menolak. Melihat makanan saja aku sudah muak, apalagi memakannya. Aku sudah beberapa hari ini tidak makan dan hanya bergantung pada injeksi.
"Nes, kasihan ibumu. Dia udah nungguin kamu lho!" cetus Pelangi dan ia pun tersenyum manis. Oh aku selalu ingin memilikinya walaupun itu mustahil.
"Aku capek Bu." kataku setengah berbisik karena kekuatanku sudah habis walau untuk berbicara sekalipun,
"Ibu tahu Nak! Makanya kamu makan. Nanti capeknya bisa hilang kok. Percaya deh sama ibu!" dan saat itu juga aku melihat air mata ibu berlinang, matanya berkaca-kaca.
Kuhapus air mata ibu, kucoba mengangkat tanganku yang kurus dan lemah ini untuk menghapus air mata itu. Yang tidak seharusnya menghujani malam hariku yang tenang ini. Demi ibu, aku mau beberapa suap. Demi ibu.
Nyaris setiap hari aku hanya melihat mata yang berkaca-kaca entah ibu, Thalia, Justin dan teman-temanku. Aku heran pada mereka. Emangnya kenapa kalau aku mati? Toh aku bukan seorang yang begitu spesial, aku biasa saja. Aku hanya senang melihat Pelangi, ia selalu tersenyum dan tenang ketika berhadapan denganku. Mungkin karena ia sudah banyak menangani pasien yang sepertiku.
Setiap pagi Pelangi mengajakku keluar kamar sekarang karena selama satu bulan aku hanya ada di dalam kamar itu saja dan tak pernah keluar. Dan aku sudah setahun berhenti dari pekerjaanku. Ini hal yang sangat tidak pernah kuduga. Sakit, berhenti bekerja, tidak jadi membahagiakan keluarga, dan pastinya tidak menikah.
'Know that I will never marry,
Baby, I'm just soggy from the chemo
But counting down the days to go’
-My Chemical Romance_Cancer-
Diluar aku merasa sangat aneh. Aku orang asing bagi dunia luar. Makhluk pucat dengan rambut yang nyaris habis, sangat lemah dan tidak berdaya ini mencoba untuk mencari udara luar yang memiliki atmosfer yang khas dengan cahaya matahari yang cerah dan meninggalkan ruangannya yang tertutup sekali serta penuh peralatan Rumah Sakit yang membuat setiap orang depresi karenanya.
"Kau tahu? Matahari pagi selalu mengingatkanku pada sesuatu." Kata Pelangi kepadaku,
"Ehm, sepertinya tidak. Kau ingat dengan apa?"
"Kau, senyummu, matamu yang dulu."
"Waktu SMA?"
"Tepatnya waktu pertama kali kita berkenalan."
"Kenapa? Waktu itu aku menyelamatkamu dari kakak kelas yang kejam."
"Waktu MOS." Pelangi kembali tersenyum, "Sampai kau mendapat gelar calon siswa terbaik."
"Haha, pemuda kekar yang tinggi dan tampan." kataku mengingatkan Pelangi waktu dia bercerita kepada teman-temannya tentang diriku.
"Ehm, dengan sorot mata yang menawan, senyumannya begitu manis. Iya, memang itulah kau sampai sekarang."