Lihat ke Halaman Asli

Elisabet hana Kartika lana

Penulis dan Editor

Kisah di Indomaret: Keputusan Berat Yang Membawa Perubahan

Diperbarui: 22 Desember 2024   15:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumentasi pribadi 2018

Aku masih ingat saat pertama kali bekerja di Indomaret. Sebagai seorang yang baru lulus dan belum tahu pasti apa yang ingin dilakukan dalam hidup, pekerjaan itu memberiku banyak pelajaran, baik dalam hal keterampilan maupun dalam berinteraksi dengan orang-orang. Di Indomaret, aku bertemu dengan banyak orang yang baik hati, baik itu teman sejawat maupun atasan. Mereka selalu mendukung dan memberikan semangat.  

Bekerja di sana, aku merasa diterima. Teman-teman kerja yang ramah dan atasan yang sabar membuatku nyaman setiap hari. Suasana kerja yang penuh kebersamaan dan saling membantu itu memberi aku rasa aman. Tidak hanya tentang tugas dan pekerjaan, mereka juga peduli dengan keadaan pribadi satu sama lain. Jika ada yang merasa tertekan, selalu ada ruang untuk berbicara. Bagi aku, mereka lebih dari sekadar rekan kerja—mereka sudah seperti keluarga.  

Salah satu pengalaman berharga yang aku dapatkan adalah keterampilan dalam penjualan. Sebagai seorang yang bertugas melayani pelanggan, aku belajar bagaimana cara menawarkan produk dengan cara yang menyenangkan dan persuasif. Salah satu produk yang aku jual dengan cukup sukses adalah Prime Bread. Pada saat itu, harga roti itu hanya Rp5.000, dan aku mampu menjual 50 pcs dalam waktu singkat hanya dengan menawarkan kepada pelanggan yang datang. Aku bisa melihat kapan mereka membutuhkan sesuatu yang cepat dan praktis untuk dibawa pulang, dan aku memanfaatkan kesempatan itu dengan baik. Terkadang, hanya dengan menawarkan senyuman dan sedikit obrolan ringan, roti-roti itu bisa terjual habis tanpa perlu tekanan.  

Kemampuan ini bukan hanya tentang teknik penjualan, tetapi juga tentang membangun hubungan yang baik dengan pelanggan. Aku belajar untuk tidak hanya menjual barang, tetapi juga menciptakan pengalaman positif bagi mereka yang datang ke toko. Dengan cara itu, pelanggan merasa dihargai, dan mereka kembali lagi. Skill ini sangat berharga, karena aku bisa menjual produk tanpa merasa seperti sedang memaksa orang lain untuk membeli. Keberhasilan ini memberiku rasa percaya diri yang tinggi dan membuatku semakin mencintai pekerjaan ini.  

Namun, di tengah kenyamanan itu, ada satu masalah yang tidak bisa aku abaikan: hubungan pribadiku. Aku sedang menjalin hubungan dengan seseorang yang, meskipun aku sayang, ternyata memiliki sifat toxic. Pacarku seringkali merasa cemburu tanpa alasan yang jelas, mengontrol, dan bahkan meminta aku untuk membuat keputusan-keputusan yang merugikan diriku sendiri.  

Satu keputusan yang diambilnya adalah meminta aku untuk resign dari pekerjaan di Indomaret. “Kamu nggak perlu kerja di sana,” katanya. “Kerja itu cuma buang-buang waktu. Fokus aja sama aku.” Awalnya, aku ragu. Pekerjaan ini bukan hanya memberikan aku penghasilan, tetapi juga membuatku merasa dihargai dan diberdayakan. Namun, pacarku terus mendesakku. "Kalau kamu sayang aku, kamu pasti akan berhenti."  

Aku merasa terombang-ambing antara dua hal yang sangat aku hargai: hubungan dengan pacarku dan pekerjaan yang sudah menjadi bagian penting dari hidupku. Namun, aku akhirnya memilih untuk mengorbankan pekerjaan demi menjaga hubungan, meskipun di dalam hati aku merasa ragu. Aku resign, dengan alasan yang kuanggap wajar, namun sebenarnya itu bukan keputusan yang aku inginkan.  

Setelah resign, keadaan malah semakin buruk. Hubunganku dengan pacarku semakin penuh tekanan. Aku merasa semakin kehilangan diriku sendiri. Ternyata, keputusan untuk meninggalkan pekerjaan itu bukanlah solusi, melainkan langkah mundur yang besar. Aku kehilangan kesempatan yang sudah aku bangun, dan hubungan yang aku pertahankan ternyata tidak memberi kebahagiaan yang aku harapkan.  

Di sinilah aku sadar bahwa aku telah membuat kesalahan besar. Aku seharusnya tidak membiarkan seseorang mengontrol hidupku sampai seperti itu. Aku seharusnya bisa berdiri tegak dengan keputusan yang tepat, meskipun itu berarti harus menghadapi kenyataan pahit dalam hubungan. Aku belajar bahwa pekerjaan itu penting, tetapi kesehatan mental dan hubungan yang sehat jauh lebih penting.  

Meskipun aku tidak lagi bekerja di Indomaret, aku sangat berterima kasih kepada teman-teman kerja dan atasan di sana. Mereka adalah orang-orang yang baik, dan pengalaman bekerja bersama mereka adalah kenangan yang tak ternilai. Kini, setelah perpisahan yang sulit dan proses panjang untuk melepaskan diri dari hubungan toxic itu, aku akhirnya menyadari bahwa kebahagiaan tidak bisa didapatkan dengan mengorbankan diri sendiri.  

Keputusan itu memang berat, tetapi aku belajar bahwa untuk hidup bahagia, kita harus berani memilih jalan yang benar bagi diri kita sendiri, bukan berdasarkan tuntutan orang lain. Kini, aku berusaha untuk lebih bijak dalam membuat keputusan, terutama dalam hal yang berkaitan dengan diri dan masa depanku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline