Lihat ke Halaman Asli

"Sang Pencerah" yang Mencerahkan

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Awalnya kurang begitu berminat, ketika kemarin sore (September 16,2010) teman-teman mengajak nonton" Sang Pencerah". film terbaru yang di sutradarai Hanung, berkisah tentang KH. Ahmad Dahlan. saya kurang berminat karena temanya yang tidak dekat dengan saya, saya rasa...mengingat saya Kristen :) dan film ini tentang tokoh Islam yang sekali lagi, tidak dekat dengan dengan saya. Namun, malam sebelumnya, saya meluangkan waktu juga untuk melihat resume film ini di acara " Mata Najwa" (Metro TV) melihat resume itu pun belum menggugah ketertarikan saya.

Sore itu ditetapkan kami berenam melihat "Sang Pencerah" , ya sudah lah tidak apa- apa, gak masalah lah, meskipun saya Kristen sendiri dan toh  ini juga bukan pertama kali nya buat saya nonton film yang genrenya Religus-Islam ( dalam hati sebenernya, juga rindu...kapan ya...bisa nonton film- film genre religius tapi gak cuman dari Islam saja di bioskop kita... hehehe, yah..maybe someday).

Hanung memang sudah di kenal, mengangkat tema yang memancing keingin tahuan banyak orang. Jadwal "Sang Pencerah" yang mulai jam 3 sore, sudah membuat 21 PIM (Palembang Indah Mall) penuh sesak sejak berjam-jam sebelumnya. Mungkin efek liburan juga. Pemandagan yang sama saya lihat ketika dulu nonton AAC dan KCB, bioskop dengan banyak orang-orang tua,di dalamnya hehehe...salut yang pertama buat Hanung.

Awal ketertarikan saya langsung muncul, ketika menyimak dialog-dialog film ini yang banyak menggunakan bahasa Jawa. Saya kangen banget ngobrol dengan bahasa itu di kota ini, Palembang. Teman saya malah meminta saya untuk me- translate tiap kali ada scene lucu tapi dialog Jawanya jelas tidak dia pahami. Jadilah saya penerjemah yang di kupingin sama penonton belakang saya juga..hehehe. Dan setting nya..membuat saya yang memang jatuh cinta pada kota Jogja jadi bernostalgia, meski saya tau lokasi syuting yg sebenarnya tidak semua dilakukan di Jogja.

Menonton stiap scene dan memperhatikan dialognya, membuat saya terpaku. KH Ahmad Dahlan dan sejarah hidupnya, ternyata bukanlah sesuatu yang asing buat saya yang hidup di jaman saat ini. Jaman di mana saya melihat sendiri, agama di gunakan sebagai alat melanggengkan kekuasaan, para kelompok penguasa. Diperlihatkan dalam scene di mana pemimpin mesjid besar sangat kuatir, bila orang- orang semakin banyak yang mengaji di langgar kecil milik KH.AD. Nantinya beliau kuatir kewibaan mesjid besar_kepemimpinannya_ akan menyusut.  Sehingga penutupan langgar kecil pun terjadilah. Digambarkan melalui perobohan langgar yang sangat miris di hati.  Adegan ini menguat, buat saya,  saat seorang pelaku, wanita paruh baya, menangisi reruntuhan  dan berkata " ...koyo ngene iki apa yo menungsa..."_(hal) seperti ini apa ya (bisa) dilakukan oleh manusia_

Mengingatkan pada saya pada perusakan rumah ibadah yang banyak terjadi di negara ini, pada waktu ini. _Ahmadiyah, HKBP, contohnya_ Kelompok tertentu menjadi serasa Tuhan. Menggunakan nilai agama versi kelompok mereka  sendiri untuk mengecap kelompok yang lain kafir dan harus di hancurkan. Masalahnya mereka seperti dilindungi oleh kekuasaan, sehingga terus menerus bisa beraksi seperti hal tersebut. Film ini nyata  memperlihatkan, bahwa  sejarah  adalah pengulangan peristiwa. Yang dahulu terjadi, sekarang pun terjadi.

Saya tercerahkan, oleh KH.Ahmad Dahlan. Saat muridnya bertanya " apa itu agama?" alih - alih berkata ini itu, beliau ambil biola dan memainkan sebuah melodi musik yang sangat indah. Lalu bertanya balik pada si penanya "apa yang kamu rasakan?", muridnya menjawab: indah, damai, tenteram... lalu biola di ambil dan diberikan kepada salah satu penanya "...mainkan.." kata kyai. Musik yang keluar pun tak beraturan, kacau, nggak enak didengar dan dinikmati...Begitulah agama, bisa mendamaikan dan bisa juga bikin rusuh, tergantung pelakunya. Menurut kyai, beragama itu juga tidak perlu menjadi fanatik. Mencintai agama dilakukan dengan iklhas. Dan memang fanatisme bukan mencintai, fanatisme itu memperalat. Fanatik tidak memperkaya, dia mempersempit.

Masih banyak nilai-nilai hidup yang mencerahkan dari film ini. Saya merasa menjadi orang Kristen yang nyaman dalam mengenali dengan baik ajaran Islam, melalui film ini. Saya optimis, kalau semakin banyak orang seperti KH Ahmad Dahlan baik dalam agama Islam dan Kristen dan bahkan agama yang lainya juga, orang-orang yang mencintai setulus -tulusnya ajaran Tuhannya termasuk mencintai keberagaman ciptaanNYA, sehingga bertujuan untuk melakukkan yang sebaik-baiknya untuk kesejateraaan manusia_kita, yang merupakan ciptaanNYA_ semakin bagus pula pola komunikasi antar orang- orang di negara kita, meski agama nya berbeda- beda. Komunikasi yang baik, yang penuh empati dan tanpa curiga,  menghasilkan kedamaian dan kesejateraan bagi kita.

Selamat menonton Sang Pencerah :) dan mari mencerah bersama :D




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline