Lihat ke Halaman Asli

Di Bawah Rinai Hujan

Diperbarui: 11 Desember 2015   10:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen Ermelinda Sato

Hujan deras yang mengguyur negeri beton itu usai, menyisa kuyup barisan gedung pencakar langit. Kabut turun memercik gelap. Langit berselimut kelam. Aku berlalu, melintas genangan-genangan seperti danau kecil dadakan itu.

Di penghujung genangan, tiba-tiba angin bertiup kencang, menerpa pepohonan rindang di tepi jalan. Dahan dan ranting beradu ria, lalu terhempas jatuh ke tepi jalan. Payung biru tersobek, nyaris terlepas dari tanganku. Angin sangat berani. Payung pun patah, dengan sepucuk surat kugenggam erat sekali.

Aku berlari sekuat tenaga. Waktu tinggal satu menit saja memojok di angka 11 lebih 10 menit. Bus menunggu. Jika terlambat, aku harus tunggu jarum jam bergeser 30 menit berikutnya. Untung, saat aku tiba, bus melaju semeter lebih. Aku berlari sambil tangan melambai, isyarat bus segera berhenti. Malang masih bisa ditunda, sang sopir menghentikan bus. Terengah-engah aku menerobos masuk. Dua tempat duduk masih tersisa. Aku mengambil yang agak pinggir. tanpa peduli beberapa bola mata memandang.

Settle bus kembali melaju, tidak begitu cepat, menyisir jalanan ramai. Ketika bus berhenti, aku bergegas turun, bersama penumpang yang lain. Tiap-tiap orang mengeluarkan payung, membuka lalu layar terkembang. Hujan tidak menghalangi mereka, termasuk aku, mengais rezeki. Pemandangan ini sangat jarang terjadi di kampungku. Hujan sama dengan tungku api, segelas kopi hangat lalu menggosip anak perempuan muda tetangga, nekat coba bunuh diri dengan segelas obat nyamuk, hanya karena putus dengan pacar.

Sedang di negeri beton ini, hujan adalah berkat dan payung adalah pemberi semangat hidup. Payung adalah perjuangan meraih kelimpahan berkat di antara rinai hujan, bukan gensi kaum lelaki.

Payung patah, dan hujan belum redah sungguh. Dingin menusuk dari yang kutup. Segelas susu coklat menghangatkan raga, di McDonal samping halte itu, dan sekeping roti pelengkap rasa. Sambil memutar otak, agar aku dan sepucuk surat ini tidak turut basah.

Seorang pemuda muncul, seusia kepala tiga, badan tertutup mantel hujan. Sekilas mata memandang, ia tampan, putih, dengan hidung mancung mirip pemeran film Bollywood itu. “Ah, cowo Flores jauh lebih tampan”, gumamku. Senyum sumringah segera, “Syg, sudah makan belum”, pesan WA menyapa dari seberang negeri.

Dan waktu bergulung tak mau henti. Hujan masih betah. Tak ada pilihan lain, menerobos butiran-butiran hujan itu, meski tambah deras. Kubungkus saja sepucuk surat ini pada amplop plastik, mendekap pada dada, lalu berlari menembus hujan. ***

Mama merindumu, nak. Semoga kau baik-baik saja di tanah orang. Sekarang musim hujan di kampung. Biar hujan mama tetap ke sawah, demi kau pu adik yang masih kuliah di Kupang. Anakku, mama kuat karena kamu harus kuliah. Andai tidak, mama sudah mesti pensiun mengurus sawah dan tambak ini. Hidup ini keras, nak. Orang yang bertahan hidup adalah kita yang masih bisa bertahan di rinai hujan. Doa mama menyertaimu, nak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline