Lihat ke Halaman Asli

Elin Moevid

Freelancer

Tapera Tak Hanya Butuh Sosialisasi tapi Juga Kematangan Regulasi

Diperbarui: 1 Juni 2024   06:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi tapera (shutterstock)

Usai membanjirnya komentar masyarakat terkait kewajiban iuran TAPERA, pihak pemerintah maupun BP TAPERA memberikan tanggapan mereka. Sayangnya, bahkan sekelas komisaris BP TAPERA dan Bapak Presiden, hanya menekankan tentang kurangnya sosialisasi mengenai program ini.

"Sama halnya dengan BPJS dulu, awal-awal kan ada pro kontra, tapi lama-lama masyarakat merasakan manfaatnya", begitulah tanggapan Pak Jokowi saat diwawancara media. Sejalan dengan itu, komisaris BP TAPERA, Heru Pudyo Nugroho, saat di acara KOMPAS TV, juga mengatakan bahwa segala aturan bisa dijelaskan lebih lanjut.

Pada dasarnya program TAPERA merupakan program yang beritikad baik. Berasaskan gotong royong, masyarakat yang mampu diminta "meminjamkan" uang mereka, dalam bentuk tabungan yang disimpan pemerintah, untuk "diberikan" pada masyarakat yang belum mampu memiliki rumah. Namun, bukannya masyarakat Indonesia ini kurang berempati terhadap sesamanya, hanya saja program ini memiliki beberapa celah yang patut dipertanyakan.

Pertama, terkait kepesertaan. Seperti yang sudah diberitakan, bahwa karyawan swasta dan pekerja mandiri juga diwajibkan menjadi peserta. Namun, berbeda dengan ASN dan ABRI, karyawan swasta memiliki posisi yang lebih rentan untuk keluar dari perusahaan. Misalnya saja, putus kontrak bagi karyawan kontrak, atau terkena PHK. 

Dalam kasus BPJS Ketenagakerjaan, pekerja bisa mengambil JHT jika dia berhenti bekerja, atau membiarkannya, sampai dia memperoleh pekerjaan baru di perusahaan lain. Saldo JHT itupun bisa berlanjut, meski pihak HRD nya berganti, dari perusahaan A ke perusahaan B. 

Bagaimana dengan TAPERA? Bukankah peruntukannya untuk kepemilikan rumah? Jika bisa diambil saat seseorang terpaksa berhenti bekerja, seperti PHK, lalu apa bedanya dengan JHT? Jika tidak bisa diambil, lantaran peruntukannya rumah, bukankah dalam posisi pasca PHK, sandang pangan adalah prioritas ketimbang memiliki rumah?

Kedua, masih berkaitan dengan BPJSTK. Karyawan swasta bisa mengambil JHT sebesar 30%, untuk keperluan memiliki rumah, setelah 10 tahun bekerja. Lalu, untuk apa ada TAPERA? Saya ingat betul jawaban Komisaris BP TAPERA saat ditanyai hal tersebut oleh presenter KOMPAS TV, "Nah, masalah itu, tentunya bisa menjadi masukan bagi kami". 

Sungguh aneh jika sebuah kebijakan yang sudah sah, sudah terbentuk lembaganya, tidak tahu menahu mengenai JHT 30% ini. Jikalau memang sudah tahu, maka pastinya aturan ini diterabas saja dan dianggap tidak penting, toh sudah berbeda lembaga yang mengurus. BPJS punya aturan, kami juga punya aturan, begitu kiranya.

Ketiga, dijelaskan dalam website resmi BP TAPERA bahwa peserta TAPERA akan memperoleh 3 jenis manfaat, yaitu KPR, KRR, dan KBR. Namun, manfaat tersebut hanya bisa diperoleh oleh MBR (masyarakat berpenghasilan rendah), yaitu masyarakat dengan penghasilan di bawah 8 juta rupiah per bulan. 

Misalnya, Mr.X ingin mendaftar program  untuk keperluan DP rumah pertamanya. Maka dia akan masuk dalam waiting list, yang tidak bisa dijamin pada bulan dan tahun kapan dia akan memperoleh uang tersebut. Mengapa demikian? Karena hanya BP TAPERA yang menentukan apakah Mr.X layak mendapatkan bantuan, dibandingkan Mr. A,B,C,D yang juga mendaftar pada saat itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline