Cuti haid, seperti yang sempat disinggung di lifestyle.kompas, merupakan hak pekerja wanita saat mengalami tidak enak badan di hari pertama dan kedua masa haid, yang telah diatur pula dalam Undang-Undang.
Walaupun sudah diatur secara tertulis, namun kenyataannya dalam implementasinya pun masih rancu, seperti yang pernah disinggung pula oleh kompasianer lain di sini. Namun perlukah sebenarnya cuti haid, dan bagaimanakah menanggapinya dengan bijak?
Wanita mengalami beberapa gejala Premenstrual Syndrome (PMS) beberapa hari sebelum masa haidnya tiba. PMS bagi sebagian wanita bukanlah hal yang merepotkan, namun bagi wanita yang lain mampu mengganggu aktivitas kesehariannya(1).
Gejala tersebut beragam jenisnya, serta beragam pula tingkat keparahannya, tergantung dari perubahan hormon yang ada dalam diri wanita tersebut. Adapun gejala PMS yang bisa saja dialami wanita , antara lain(2): perut kembung, diare / bisa juga mengalami konstipasi, nyeri perut / nyeri punggung /nyeri dada, perubahan mood mendadak.
Jika PMS adalah masalahnya, lalu mengapa cuti haid dinyatakan di hari pertama dan kedua dalam Undang-undang? PMS bukanlah penyebab utama wanita merasa kesakitan dan ingin beristirahat saat haid. PMS berangsur membaik saat haid tiba.
Namun, dysmenorrhea-lah penyebabnya. Dysmenorrhea primer(3) dikenali dengan gejala nyeri di bagian bawah perut, dengan tingkat keparahan yang berbeda setiap individunya. Hal ini disebabkan karena adanya kontraksi uterus dan selama kontraksi ini juga dilepaskan zat kimia prostaglandins, yang membuat nyeri itu makin terasa (biasanya hari pertama hingga kedua masa haid).
Tingginya jumlah prostaglandins dapat memicu rasa mual, pusing, diare, perut kembung, dan juga konstipasi. Nyeri haid, sekali lagi, berbeda setiap individunya. Itulah mengapa ketika seorang wanita mengalami nyeri haid, tidak semua orang berempati, bahkan sesama perempuan.
Saya adalah salah satu dari sekian wanita yang mengalami nyeri haid, yang cukup membuat saya hanya bisa berbaring kesakitan saat nyeri itu melanda. Apakah ada cuti haid di tempat saya bekerja? Ya, tertulis jelas di PKB: satu hari dalam satu bulan.
Apakah saya mengambil cuti haid? Tidak. Mengapa? Atasan. Atasan saya adalah orang yang paling greget untuk mengusung kesamaan kewajiban bekerja antara wanita dan pria. Itulah sebabnya beliau sangat ketat dengan aturan cuti haid. Lalu, apakah saya bisa bekerja saat haid? Tidak.
Setelah melihat bagaimana saya hanya bisa berbaring di klinik selama 2-3 jam di kala nyeri melanda, beliau mengijinkan saya untuk pulang cepat. Tentu tidak setiap bulan saya pulang cepat, di bulan yang lain saya meminta ijin untuk bekerja yang sifatnya administratif, tentu saja dengan posisi duduk yang gelisah dan seringkali menaruh kepala di meja.
Apakah saya benci atasan saya? Tidak. Bekerja di lingkungan yang 90%-nya pria, dengan beban bekerja dan gaji yang sama, tentu saya paham bagaimana beliau bersikap hati-hati untuk memberikan ijin cuti haid.