Kata delik berasal dari bahasa Latin, yaitu dellictum, yang di dalam Wetboek Van Strafbaar feit Netherland dinamakan Strafbaar feit. Dalam Bahasa Jerman disebut delict, dalam Bahasa Perancis disebut delit, dan dalam Bahasa Belanda disebut delict. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, arti delik diberi batasan sebagai berikut.
"Perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang; tindak pidana."
Delik adalah perbuatan dalam makna berbuat atau tidak berbuat yang diatur dalam peraturan perundang-undangan sebagai perbuatan melanggar hukum, delik dapat dikatakan utuh dan dapat diberikan sanksi jika mengandung segala unsur yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Pada dasarnya, ujaran kebencian berbeda dengan ujaran (speech) pada umumnya, walaupun di dalam ujaran tersebut mengandung kebencian, menyerang dan berkobar-kobar. Perbedaan ini terletak pada niat (intention) dari suatu ujaran yang memang dimaksudkan untuk menimbulkan dampak tertentu, baik secara langsung (aktual) maupun tidak langsung (berhenti pada niat).
Menurut Susan Benesch, jika ujaran tersebut dapat menginspirasi orang lain untuk melakukan kekerasan, menyakiti orang atau kelompok lain, maka ujaran kebencian itu berhasil dilakukan.[1]
Di Dalam Surat Edaran Kapolri NOMOR SE/06/X/2015 tentang Ujaran Kebencian (Hate Speech) dijelaskan pengertian tentang Ujaran Kebencian (Hate
Speech) dapat berupa tindak pidana yang di atur dalam KUHP dan ketentuan pidana lainnya di luar KUHP,[2] yang berbentuk antara lain: 1) Penghinaan, 2) Pencemaran nama baik, 3) Penistaan, 4) Perbuatan tidak menyenangkan, 5) Memprovokasi, 6) Menghasut, dan 7) Menyebarkan berita bohong.
Pada dasarnya ujaran kebencian (Hate Speech) adalah Perkataan, perilaku, tulisan ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan dan memiliki dampak yang merendahkan harkat martabat manusia dan kemanusiaan serta menyebabkan sikap prasangka dari pihak pelaku pernyataan tersebut atau korban dari tindakan tersebut.[2]
Di Indonesia, menurut Guru Besar Hukum Pidana Universitas Krisnadwipayana, Indriyanto Seno Adji, fenomena ujaran kebencian dan hoaks muncul karena tahun politik yang sedang berjalan. Menurut Kepala Biro Penerangan Masyarakat, Brigjen Mohammad Iqbal, Polri telah mendeteksi ratusan konten provokatif mengandung ujaran suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA), hoaks, dan ujaran kebencian sepanjang tahun 2018. Hingga 6 Maret 2018 sudah ada 642 konten provokatif.
Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, sebelumnya pencemaran nama baik (penghinaan) diatur dan dirumuskan dalam Pasal 310 KUHP, yang terdiri dari 3 (tiga) ayat. Menista dengan lisan (smaad) -- Pasal 310 ayat (1); Menista dengan surat (smaadschrift) -- Pasal 310 ayat (2).
Sedangkan perbuatan yang dilarang adalah perbuatan yang dilakukan "dengan sengaja" untuk melanggar kehormatan atau menyerang kehormatan atau nama baik orang lain. Apabila unsur-unsur penghinaan atau Pencemaran Nama Baik ini hanya diucapkan (menista dengan lisan), maka perbuatan itu tergolong dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP. Namun, apabila unsur-unsur tersebut dilakukan dengan surat atau gambar yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan (menista dengan surat), maka pelaku dapat dijerat atau terkena sanksi hukum Pasal 310 ayat (2) KUHP. Delik dalam pasal 310 ini merupakan delik aduan yang penuntutannya hanya dilakukan apabila ada pengaduan dari pihak yang karena perbuatannya merasa dirugikan.