Lihat ke Halaman Asli

Merapi Beramuk Geram

Diperbarui: 26 Juni 2015   10:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi ini, aku menuliskan kisah bencana gunung Merapi. Di menit 32 lepas dari jam 8 dalam suasana mendung di pagi hari. Selang tiga menit, telepon genggamku bergetar tanda sms masuk. Mengusikku sejenak. Aku buka, ternyata dari si penghuni rumah, si pemilik monitor yang tengah aku pakai, ia menanyakan apakah si buah hatinya tetap dalam keadaan tenang. Baiklah, sudah kutengok bayi berusia satu setengah bulan yang tertidur lelap di belakangku, lalu kuceritakan dan ya sudah kulanjut menulis. Satu menit setelah nya, telepon itu bergetar lagi. Siapa gerangan? Oh nyatanya itu sms dari kekasihku memberitahukan bahwa dia telah sampai ke rumahnya. Hampir 30 menit sebelumnya ia ada disampingku kini ia telah pulang. Aku membalas pesannya, memberitahukan apa yang tengah aku lakukan disini, kami terpisah dalam jarak sekitar 30 km saja.

Cukuplah berbasa-basi untuk membuka tulisan ini, mari beranjak dan beralih. Hari itu, selasa 26 oktober 2010. Catat kawan, hari itu adalah selasa. Tanggal 26, di bulan kesepuluh di abad ke-20 tahun masehi. Apa yang membuat semua ini selalu teringat? Bukan diingat-ingat, tapi teringat sendiri. Melupakan, tidak bisa. Lelah, ingin amnesia saja rasanya. Trauma, itu pasti bersemayam dalam setiap jiwa yang mengalami. Mengalami apa? Menjadi korban.

Evakuasi dilakukan, berbagai pihak turut serta menolong. Hidup dan mati pilihannya, demi hidup orang lain, penuh tekad dan kekuatan hati , tak ayal pula ialah pemilik strategi. Merapi erupsi kawan, just eruption! Tapi, awan panasnya mengepul dan membumbung, dijuluki sang Wedus Gembel, ia makin pongah dan tidak berprikemanusiaan. Mengancam setiap jiwa, menenggelamkan rumah-rumah penduduk, meluluh-lantakan semua area yang ia lintasi. Mengerikan!

Posko-posko pengungsian mulai didirikan dan bermunculan di beberapa titik. Posko Umbulharjo salah satu di antaranya. Posko tersebut adalah posko kedua yang aku kunjungi setelah malam sebelumnya aku sempat bertandang ke posko Purwobinangun, sedikit membantu teman-teman Kampung Halaman mengantar bantuan berupa barang-barang yang dibutuhkan oleh para pengungsi. Kasur, tikar, selimut dll. Bertandang dan berkunjung, sedikit membantu apa yang kami bisa, berbaur dengan mereka, berbagi rasa penuh kesetia kawanan bukan hanya sekedar belas kasihan.

Merapi kian mengancam apalagi ketika ia mulai bererupsi makin besar hingga abu vulkaniknya menyebar ke wilayah Yogyakarta kota. Masker-masker terjual habis. Disepanjang jalanan Kaliurang jarak pandang begitu pendek, hanya sekitar 2-3 meter saja. Kepanikan terjadi dan aku berada di tengah kepanikan itu. Melihat, mengamati dan merasakan. Dahsyat! Atap-atap rumah berwarna senada, sungguh seragam, sama merata tertutup abu. Jalanan akan menimbulkan abu yang berseberan tatkala terusik sedikit saja oleh roda-roda kendaraan, menyebakan dada sesak apabila sampai terhirup, mata akan berperih durja jika abu menyeruak masuk, menimbulkan titik-titik air mata. Hati-hatilah kawan.

Di malam yang sudah larut, aku ingat betul itu adalah malam jumat. Tengah malam beranjak, beralih dari tanggal 4 ke tanggal 5 november 2010. Pagi rupanya, pukul 01:30 WIB. Aku sontak terbangun dari tidur lelapku, ada suara gemuruh, deru motor menghampiri rumah kami dan rupanya kedua orang penghuni rumah yaitu mba Cicil dan mba Kiky sudah sangat terusik sedari lama. Merapi meletus. Dua orang laki-laki bertandang ke rumah kami, merekalah saudara mba Cicil dan mba Kiky. Mas Stenly dan mas Charles nama kedua laki-laki yang sudah penuh kotor badannya dengan abu dan pasir itu. Mereka bercerita kepada kami kalau kaca-kaca rumah mereka hancur dikarenakan hantaman gemuruh yang begitu besar yang ditimbulkan oleh Merapi, jelas saja demikian, mereka tinggal di lerengnya.

Kami berlima terus terjaga hingga pagi benar, membayangkan penduduk lain yang terkena amukan Merapi apalagi setelah zona bahaya kini dinaikan dari mulai 10 km, lalu 15km, kemudian menjadi 20 km dari puncak Merapi, itu berarti jumlah pengungsi akan semakin banyak dan melahirkan posko-posko pengungsian baru. 20 km dari puncak Merapi adalah kota mati untuk saat ini, tiada kehidupan, beraroma mistis karena puluhan jenazah tertimbun. Allahuakbar!!!

Terselesaikan, 10:54 am
Djogja, 261110
Sorbonne :)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline