Kekerasan yang terjadi di sekolah berasrama masih saja terus diberitakan, termasuk di sekolah berasrama yang berbasis pendidikan agama. Artinya, sekolah berasrama belum menjadi ruang aman bagi para siswa. Tentu ada banyak hal yang menjadi penyebab, salah satunya adalah budaya senioritas. Bagaimana budaya senioritas ikut andil dalam terjadinya perundungan dan kekerasan di sekolah berasrama sehingga harus segera dihentikan?
Senioritas tidak muncul dalam satu malam, melainkan telah berlangsung dari generasi ke generasi. Hal ini terjadi karena kakak kelas mempunyai kuasa dan merasa lebih superior dibandingkan dengan adik angkatan, sehingga mereka seolah-olah mempunyai tanggung jawab untuk mengajari dan mengoreksi sikap adik kelas. Sayangnya, hal ini sering terwujud dalam hal-hal yang negatif. Di sisi lain, adik kelas hanya bisa pasrah menerima perlakuan kakak tingkatnya agar tidak dianggap lembek. Tak jarang, kakak kelas mantap menunjukkan kekuasaan mereka dengan dalih mereka juga dulu diperlakukan demikian ketika masih menjadi junior. Budaya senioritas pun menjadi lingkaran setan yang tidak putus karena dianggap normal dan wajar.
Selain telah dilakukan secara turun temurun karena relasi kuasa, senioritas juga kental dengan kekerasan dan perundungan baik secara fisik maupun verbal. Di sekolah berasrama, para siswa datang dari latar belakang keluarga dan budaya yang berbeda. Jika para kakak kelas menyadari kuasa mereka, ditambah pengalaman diperlakukan buruk oleh kakak kelas sebelumnya, juga dibesarkan di keluarga yang penuh kekerasan misalnya anggota keluarganya abusive, tentu akan memperparah terjadinya kekerasan dan perundungan di sekolah berasrama. Apabila mereka mengalami konflik dengan siswa lain, terutama adik kelas, mereka cenderung menyelesaikannya dengan kekerasan. Tentu hal ini tidak mengherankan karena salah satu cara anak-anak belajar adalah dengan meniru. Mereka meniru tingkah kakak kelas mereka dan juga orang dewasa di sekitar mereka yang menggunakan kekerasan untuk menghadapi orang lain. Alih-alih memutus mata rantai senioritas, kekerasan di sekolah berasrama pun makin menjadi-jadi. Bukankah sangat memprihatinkan?
Lestarinya budaya senioritas tidak lepas dari kurangnya pengawasan dari pengurus, pembina, atau pimpinan sekolah berasrama yang diperburuk dengan tidak adanya wadah untuk mengadu. Tidak dapat dipungkiri, pihak yang mempunyai otoritas di sekolah berasrama tidak bisa menjamin 100% bahwa mereka mampu dan sungguh melakukan pengawasan terhadap semua siswanya selama 24 jam secara sempurna. Ditambah lagi, minimnya fasilitas keamanan seperti CCTV di sekolah dan asrama mereka. Adanya titik-titik yang tidak terpantau CCTV memberikan kesempatan bagi siswa untuk melakukan hal yang tidak semestinya, termasuk melakukan "tugas" mereka sebagai kakak tingkat yang perlu "mengajari" adik kelasnya. Selain itu, senioritas tambah membudaya dengan tidak adanya ruang aman bagi korban untuk mengadu. Jika senioritas dianggap menjadi bagian dari kehidupan berasrama, kekerasan pun dianggap normal sehingga korban merasa tidak merasa perlu mengadu. Lalu, ketika pengawas tidak mengangkap basah tindak kekerasan baik dengan mata kepala mereka sendiri maupun melalui rekaman CCTV juga tidak ada pengaduan dari korban maupun saksi, maka kasus ini tidak akan muncul kepermukaan. Praktik kekerasan atas dasar senioritas pun tumbuh subur.
Oleh karena itu, jelaslah bahwa budaya senioritas harus diberantas untuk mewujudkan sekolah berasrama yang aman. Jika tidak, budaya yang muncul akibat relasi kuasa ini akan dianggap sebagai suatu kewajaran oleh para siswa sekalipun mengandung kekerasan baik fisik maupun verbal lalu menjadi mata rantai yang sulit diputus. Maka, untuk menghapuskan kekerasan, pihak pimpinan sekolah berasrama harus mendidik dan mendampingi para siswa untuk membangun relasi positif antarsiswa dan tidak memberi celah sedikit pun pada praktik kekerasan, membuat sistem pengawasan yang efektif serta memperlengkapi sekolah dan asrama dengan fasilitas keamanan yang mumpuni. Selain itu, pemerintah juga harus berani menindak tegas pihak sekolah berasrama masih mengabaikan terjadinya kasus kekerasan atau perundungan, termasuk yang nekat menutup-nutupi terjadinya kekerasan dan tidak berpihak pada korban hanya untuk menjaga reputasi institusi mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H