Mengelola sebuah komunitas baca untuk anak-anak selama hampir dua tahun, membuat saya bertemu dengan banyak orang yang ikut berpatisipasi menjadi tenaga sukarelawan.
Di antara para sukarelawan, ada yang sudah saya kenal. Ada juga yang sama sekali tidak saya kenal karena mereka mengetahui informasi tentang komunitas baca baik melalui teman maupun media sosial. Setelah banyak berinteraksi dengan para sukarelawan, saya dapat membedakan beberapa jenis sukarelawan berdasarkan sikap dan motivasi mereka.
Pertama, ada orang yang menjadi sukarelawan karena memang merasa kegiatan di komunitas baca sesuai dengan minat dan potensi mereka. Sehingga mereka dengan antusias datang dan berpartisipasi di satu komunitas atau bidang yang memang "mereka banget". Sukarelawan model pertama ini biasanya tidak hanya datang sekali. Bahkan ada juga yang bisa datang dengan rutin. Lalu, banyak dari mereka yang rindu jika setelah sekian lama absen.
Ada juga sukarelawan yang datang karena menjadi sukarelawan sedang populer di kalangan masyarakat terutama anak muda. Anak muda tipe kedua ini biasanya akan menjadi sukarelawan di berbagai kegiatan. Yang penting menjadi sukarelawan, jenis kegiatan dipikirkan kemudian. Mereka hanya ingin mengikuti tren saja. Maka antuasiasme mereka untuk menjadi sukarelawan pun akan perlahan-lahan padam seiring dengan berjalannya waktu.
Yang ketiga, agak berhubungan dengan jenis sukarelawan yang kedua, yaitu menjadi sukarelawan untuk memenuhi lini masa akun media sosial mereka. Saat menjadi sukarelawan, mereka akan menyibukkan diri mengumpulkan dokumentasi yang "Instagramable" atau yang menarik untuk diunggah ke akun-akun sosial media mereka.
Menjadi sukarelawan pun menjadi sebuah media eksistensi diri. Biasanya mereka tidak akan bertahan lama menjadi sukarelawan karena begitu merasa puas dan sudah eksis di dunia maya, maka mereka pun akan menyudahi keaktifan mereka menjadi sukarelawan. Kalau sudah eksis, ya sudah. Lalu, ganti haluan mencari bahan lain untuk diunggah.
Saya juga beberapa kali menemukan model sukarelawan yang menjunjung tinggi peribahasa "Ada udang di balik batu". Artinya mereka datang dan menjadi sukarelawan bukan hanya karena tergerak untuk membantu tetapi ada hal lain yang mendorong mereka untuk berpartisipasi.
Biasanya hal lain tersebut berhubungan erat dengan keperluan pribadi atau kelompok mereka. Misalnya, menjadi relawan karena perusahaan mengharuskan mereka mengadakan aksi sosial, butuh rekomendasi untuk keperluan belajar, butuh media untuk aksi sosial karena ikut acara tertentu, mendapat tugas dari sekolah, dan lain sebagainya. Setelah kepentingan mereka terpenuhi, maka mereka pun akan melenggang pergi.
Bagi saya, kemajuan teknologi informasi membuat semakin mudahnya menjaring tenaga sukarelawan. Di sisi lain, tidak semua orang menjadi sukarelawan dengan motivasi yang benar. Jika tulus menjadi sukarelawan, maka kita seharusnya fokusnya pada orang lain bukan pada diri kita sendiri. Oleh karena itu, kita tidak perlu kuatir terhadap adanya pengakuan dari orang lain.
Tentu sah-sah saja mendokumentasi kegiatan sosial yang kita lakukan, namun jika motivasinya benar, maka hal tersebut tidak perlu dilakukan secara berlebihan karena fokusnya bukan pada mengumpulkan foto atau video tetapi pada aksi nyatanya. Kepentingan-kepentingan yang lain, juga harus dikomunikasikan baik dengan pihak penyelenggara atau pengelola kegiatan sosial maupun orang-orang yang dibantu, sehingga kepentingan itu tidak mengganggu keseluruhan aksi sosial yang dilakukan dan tidak mengecewakan orang lain yang terlibat.
Percayalah, menjadi sukarelawan itu seru. Tetapi lebih seru kalau motivasinya benar karena tangan yang terulur dalam aksi sosial sejatinya lahir dari hati yang tergerak melihat orang yang berkekurangan. Bahkan kita tidak perlu resah saat khalayak ramai tidak tahu yang kita lakukan, karena tangan kanan dapat memberi tanpa diketahui oleh tangan kiri. Jangan sampai saat menjadi sukarelawan, orang lain mengatakan, "Sukarelawan masa gitu?"