Akhir-akhir ini publik ramai memperbincangkan wacana Pemprov DKI Jakarta untuk mengatur peredaran daging anjing di daerah Ibukota. Hal ini mengundang reaksi pro dan kontra. Selama ini jumlah daging anjing yang masuk daerah ibukota dinilai cukup banyak sehingga perlu adanya pengaturan. Menurut Pemprov DKI, perlu adanya upaya untuk mengawasi peredaran daging anjing di Jakarta untuk memastikan bahwa daging tersebut berasal dari anjing yang sehat, tidak terpapar rabies yang bisa membahayakan manusia. Tentu saja ini merupakan kabar baik untuk penggemar kuliner daging anjing.
Di sisi lain, ada juga pihak yang menyayangkan adanya wacana untuk mengatur peredaran daging anjing. Bagi para pemeluk agama yang diperintahkan untuk tidak mengomsumsi daging ini, wacana ini dianggap tidak menghormati mereka. Tidak hanya masalah toleransi umat beragama, pendapat lain juga berkembang di masyarakat. Seperti yang kita ketahui, daging yang umum dikonsumsi adalah daging hewan ternak sedangkan anjing merupakan hewan peliharaan. Anjing termasuk kategori hewan peliharaan sehingga yang seharusnya dimanfaatkan bukanlah dagingnya. Jika daging hewan ternak berasal dari peternakan, darimanakah asalnya daging anjing? Para penggiat gerakan anti daging anjing dan perlindungan hewan (terutama anjing) mengkhawatirkan pencurian anjing akan semakin marak jika tidak ada larangan untuk mengkonsumsi daging anjing. Bisa saja daging anjing yang dijual berasal dari anjing hasil curian. Anjing peliharaan tentunya lebih sehat dibandingkan dengan anjing jalanan. Bagi para penyayang binatang dan penggemar anjing, tentu saja mereka ingin melihat anjing hidup wajar dan tidak menginginkan binatang berkaki empat tersebut nasibnya berakhir tragis menjadi santapan manusia.
Sebagai orang yang pernah memelihara anjing, saya tidak tega untuk makan daging anjing. Saya lebih memilih untuk mencukupkan diri dengan makan daging hewan ternak. Saya lebih senang jika melihat anjing hidup wajar sebagai hewan peliharaan atau hewan penjaga. Akan tetapi, silakan saja jika ada yang mau makan daging anjing. Namun, tolong jangan dilakukan di hadapan saya (dan orang-orang yang mengharamkannya) supaya tidak menjadi batu sandungan. Jika ternyata asal-usul daging tersebut dipertanyakan dan kualitas kesehatan daing tersebut tidak dapat dijamin, apakah masih mantap mengonsumsinya?
Menurut saya, adanya pengaturan tentang peredaran daging anjing atau larangan konsumsi daging anjing tidak menjadi jaminan orang akan benar-benar berhenti mengonsumsinya. Wacana Pemprov DKI ini bagi saya merupakan suatu langkah untuk menjamin keamanan bahan pangan yang beredar. Mengonsumsi daging anjing bukanlah masalah kebudayaan suku, ras, atau agama tertentu melainkan stereotip yang berkembang di masyarakat. Jadi, mari beropini tanpa menyinggung SARA dan mari wujudkan sikap toleransi kepada sesama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H