Indonesia adalah salah satu negara yang berkomitmen untuk berdemokrasi, sudah seharusnyalah masyarakatnya juga belajar berdemokrasi. Masyarakat yang belajar berdemokrasi bukan saja mahasiswa, tapi juga buruh, kaum intelektual dan kaum elit politik. Yang dipelajari harusnya bukan demokrasi kampungan yaitu dengan teriak-teriak seperti orang jualan di pinggir jalan atau menjarah atau membakar dan mengganggu ketertiban umum. Bukan juga melempar kursi saat sidang di DPR atau di pengadilan sebagai ungkapan ketidakpuasan.
Demokrasi seharusnya dilakukan sebagai mana mestinya. Seperti memberikan suara pada pemilihan umum dan menghormati apapun hasil atau pilihan mayoritas masyarakat terhadap pemilu itu. Demokrasi juga berarti mempercayakan mandat kepada wakil rakyat yang dipilih lima tahun sekali. Jika wakil rakyat yang kita pilih itu tidak bisa memperjuangan aspirasi kita, maka tuntutan meninjau kembali UU kepada Mahkamah Konstitusi masih bisa dilakukan. Jika tidak maka unjuk rasa memang bisa dipilih untuk menyuarakan aspirasi.
Hanya saja yang terjadi adalah seringkali unjuk rasa disertai dengan sikap anarkis tak sekadar lempar batu. Aksi bakar-bakaran, merusak pagar dan fasilitas umum dilakukan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab. Ini bisa berdampak panjang seperti menganggu lalu lintas sehingga kegiatan ekonomi tersendat.
Padahal jika kita lihat beberapa unjuk rasa yang berlangsung di Eropa dan sebagian Asia dilakukan dengan damai. Entah itu menyangkut UU yang barus disahkan, soal LGBT atau soal-soal rasisme. Hanya unjuk rasa di HongKong soal UU ekstradiksi dan peristiwa rasial di AS menyulut kerusuhan.
Demokrasi memang bukan sistem yang paling bagus untuk menjalankan negara karena cenderung menghabiskan energy dan waktu untuk berdialog atau memproses masukan atas sesuatu. Namun setidaknya demokrasi memberi rasa aman dan solusi atas kemampatan menyatakan keinginan. Demokrasi sejatinya memumpukan kekuatannya pada dialog dan kebebasan berekspresi akan kehilangan rohnya jika harus dicemari dengan kerusuhan dan kekerasan. Bisa jadi kita sendiri mengelukan demokrasi sebagai salah satu indikator kemajuan zaman namun disisi lain kita melakukan anarki yang bisa mencederai roh demokrasi itu sendiri.
Seperti pernah kita alami ketika melaksanakan Pemilihan Presiden pada bulan April 2019 yang dimenangka oleh pasangan Joko Widodo dan Makruf Amin dengan 55 % suara dibandingkan dengan Prabowo dan Sandiaga Uno yang hanya meraih 44 % suara. Lalu koalisi Adil Makmur yang mengusung Prabowo Sandi menggugat hasil Pemilu itu ke Mahkamah Konstitusi dimana MK memutuskan bahwa hasil Pilpres itu tidak berubah.
Ini adalah mekanisme yang benar dalam berdemokrasi karena tidak saja mempertanyakan hasil pilpres namun juga menggugatnya ke MK. Sehingga apa yang kita lampaui bersama yaitu pengesahan UU Omnibus law yang banyak dipertanyakan oleh masyarakat beberapa waktu lalu, seharusnya juga menggunakan langkah yang sama untuk menempuh keadilan. Bukan dengan membuat kerusuhan; berteriak-teriak, melempar batu dan membakar halte dan fasilitas umum lainnya. Menggugat di MK adalah cara paling elegan untuk menyalurkan aspirasi ketidakpuasan.
Mari bersinergi untuk mewujudkan demokrasi yang baik dan sesuai dengan karakter bangsa. Jauhi sikap dan aksi yang radikal dan anarkis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H