Aksi radikal untuk terlibat dalam gerakan jihad dapat dilihat sebagai 'aksi identitas' untuk mengakhiri krisis mendalam yang terjadi antara pencarian jalan hidup dan dorongan lingkungan yang terjadi dalam konteks personal maupun sosial. Meskipun terdapat kecenderungan kuat untuk terlibat dalam gerakan radikal, namun termasuk sembrono jika langsung menarik kaitan antara kaum muda, kemiskinan, dan pengangguran sebagai alasan seseorang terlibat aksi terorisme, sebagaimana yang sering dilontarkan oleh banyak pengamat. Sebagai contoh hal tersebut bersifat anomali adalah kasus serangan 11 September yang pelakunya justru berasal dari kalangan terdidik dan berlatar belakang keluarga kelas menengah. Bisa jadi ada variabel lain yang dapat menjelaskan mengapa seseorang, khususnya anak muda, tertarik melakukan radikalisme. Sebagai contoh mungkin adanya kebosanan yang kemudian membuat ideologi baru terlihat segar, meskipun bentuknya ternyata sesat. Ditambah lagi dengan adanya jejaring sosial, membuat komunikasi anak muda semakin tanpa batas. Berbagai ideologi pun dapat keluar masuk sesuka hati, dan hal tersebut berisiko menjerumuskan ke hal yang buruk jika hanya disikapi hanya sebatas oke dan tidak oke secara sepintas. Hal diatas merupakan bentuk penerimaan budaya populer, di mana hanya diterima berdasarkan penilaian sesaat tanpa kajian yang mendalam. Terlebih jika bentuk penerimaan tersebut berkaitan dengan propaganda radikalisme, maka akan berakibat buruk. Sebagai contoh kasus yang terjadi di Jerman ketika gelombang radikalisasi kian menyasar anak muda melalui pergerakan kelompok salafi (kelompok yang menggangap jihad sebagai perjuangan utama Islam) generasi ketiga yang kreatif dalam mengolah propagandanya dalam bentuk populer. Kelompok ini melakukan banyak pendekatan kreatif dalam menyampaikan pesan jihad, seperti contoh penerbitan komik berjudul "Super Muslim". Secara kasat mata, komik tersebut tak ubahnya komik budaya kontemporer, namun jika diperhatikan lebih jauh, di dalamnya justru terdapat banyak propaganda ajaran salafi. Penjabaran hal-hal di atas menunjukkan bahwa pola dukungan terorisme sangatlah kompleks. Setidaknya ada lima lingkaran koesentris yang membentuk pola dukungan terorisme. Di lingkaran pertama terdapat para pimpinan, dan dilanjutkan di lingkaran kedua yang berisikan anggota militan khusus untuk dipersiapkan sebagai pemimpin. Di lingkaran ketiga diisi oleh kelompok pendukung pasif yang datang dari luar keanggotaan, namun berkontribusi dalam penyediaan dana, logistik, dan bantuan lainnya. Selanjutnya di lingkaran keempat adalah lingkaran yang berisi simpatisan, di mana merupakan pendukung terorisme yang bersifat temporer (hanya sewaktu-waktu membantu). Adapun lingkaran terakhir adalah masyarakat umum yang merupakan target paling potensial bagi propaganda dan serangan terorisme. Di dalam lingkaran inilah proses penanggulangan terorisme membutuhkan tenaga dan perhatian sangat serius. Analogi sederhananya adalah jika penanggulangan terorisme berjalan sukses, maka aksi radikalisme pun akan menurun drastis dan bahkan musnah. Sebaliknya, jika tidak berjalan sukses, maka berpotensi meningkatkan taji pelaku teror sehingga semakin meresahkan masyarakat. Esensi dari seluruh penjabaran di atas adalah bahwa penindakan dan penanggulangan terorisme bersifat multi sektor, sehingga tidak cukup hanya dengan penindakan langsung dan pengintaian saja. Diperlukan upaya-upaya berbda yang disesuaikan dengan kondisi risiko yang tampak. Namun terlepas dari itu semua, ada satu pengikat yang patut kita perhatikan seksama sebagai warga negara Indonesia, yakni bahwa negeri kita tercinta berdiri di atas harga mati falsafah Bhineka Tunggal Ika dan dasar negara Pancasila. Dengan meyakini dan mengamalkan dua hal tersebut, maka kita pun akan kuat bersama menanggulangi terorisme di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H