Aku memutuskan untuk duduk di depan tempat makan ini. Kata orang ini restoran baru. Kaki dan pundakku perlu kuistirahatkan sejenak. Juga kaki anak lelakiku yang sedari subuh tadi setia membuntuti ke mana pun aku melangkah. Adiknya yang dalam gendonganku, masih lelap dalam tidurnya.
"Puji Tuhan," ucapku sambil duduk di atas semen setinggi 10 sentimeter. Anakku pun duduk di sana.
"Bu, au ape." Kedua tangannya dia tempelkan di bagian perut.
"Ya, sabar ya, Thomi. Nanti kita beli nasi setelah ini. Kaki ibu capek. Kita istirahat barang sepuluh atau lima belas menit, ya." Aku menjelaskan alasanku duduk, meskipun anakku tak mampu mencerna semua kalimat yang baru saja kuucapkan. Dia memiliki banyak 'keistimewaan' dibandingkan anak-anak seumurnya. Kata mereka anakku tidak normal. Itulah sebabnya mengapa anakku tidak bisa bersekolah. Kudaftarkan di beberapa sekolah dasar, tetapi mereka semua menolaknya. Alasannya sama, anakku tidak akan bisa mengikuti pelajaran dengan baik.
Kata mereka (pula) anakku harus sekolah di sekolah khusus. Tapi di mana? Aku tidak pernah tahu ada sekolah seperti itu. Dari seorang teman seprofesiku, aku mendapat informasi sekolah ini. Keesokan paginya, aku sangat bersemangat mendatangi sekolah itu. Anakku bahkan tidak bisa tidur, saking senangnya akan bersekolah.
Beberapa orang menatap kami dengan berbagai ekspresi, aneh, bingung, dan yang lebih banyak adalah ekspresi jijik. Aku terus saja melangkah dan mencari ruang pendaftaran. Seorang satpam yang baik hati mengantarkan kami ke ruang tersebut. Ruangan yang sangat bersih, rapi, dan nyaman. Ah, pantas saja, ternyata kenyamanan itu berasal dari AC yang bertengger di dinding atas ruangan.
"Ada yang bisa dibantu, Bu?" Seorang laki-laki berkemeja krem dan dasi maroon menyapaku sesaat setelah aku dan anakku memasuki ruangan.
"Saya mau daftar sekolah. Ini anak saya. Namanya Thomas. Ayo, beri salam, Thomi." Anakku menjulurkan tangan kanannya. Lelaki berdasi itu menerima jemari anakku dengan sedikit ragu, lebih tepatnya jijik.
"Hmm, begini, Bu. Sekolah ini ...."
"Maaf, Pak. Biar saya saja yang menjelaskannya. Maaf kalau kami sedikit lambat," ujar seorang wanita dengan seragam berwarna senada. Dia menundukkan kepala sebagai tanda permohonan maaf.
"Mari, Bu. Ikut ke meja saya," katanya memersilakan saya berjalan lebih dulu ke meja yang dia tunjuk.