Perjuangan membela kaum marjinal yang terpinggirkan dalam berbagai kasus konflik agraria merupakan usaha untuk menunaikan tugas Ketuhanan dalam memelihara dan menjaga keberlangsungan lingkungan. Ada beraneka ragam permasalahan yang muncul pada ranah lingkungan. Faktor yang menyebabkannya pun beragam, salah satu faktor yang paling kerap menjadi penyebab masalah lingkungan dan dilakukan secara sistematis dengan dukungan legitimasi dari negara adalah aktivitas pertambangan, khususnya pertimbangan mineral dan batubara. Dalam praktiknya perjuangan membela masyarakat yang termarjinalkan oleh aktivitas pertambangan mineral dan batubara yang dilakukan oleh para oligarki dengan restu pemerintah seringkali dihadapkan upaya kriminalisasi.
Pada dasarnya UU Minerba telah mengantisipasi kemungkinan terjadinya marjinalisasi terhadap masyarakat di sekitar lokasi pertambangan, yang mana masyarakat bersikap represif karena menolak pertambangan. Antisipasi tersebut dilakukan melalui pengaturan prinsip-prinsip yang harus menjadi landasan dari suatu aktivitas pertambangan dapat disebut pertambangan yang sah secara hukum. Salah satu di antaranya adalah prinsip partisipasi dan prinsip keadilan. Prinsip partisipasi, yaitu usaha yang dilakukan oleh pemerintah berdasarkan wewenang yang dimilikinya untuk mendorong terjadinya peran serta masyarakat khususnya masyarakat sekitar wilayah pertambangan dalam aktivitas pertambangan tersebut.
Selanjutnya, Prinsip keadilan yang mencakup di dalamnya aspek-aspek yang terkait dengan kesejahteraan sosial, redistribusi pendapatan secara lebih merata, dan pluralisme hukum. Adapun tujuan dari prinsip keadilan adalah merealisasikan terselenggaranya pengelolaan sumber daya mineral dan batubara yang dapat memberi jaminan keadilan dalam satu atau lintas generasi. Selain itu, mencakup pula perlindungan hukum dan masyarakat lain dalam pengelolaan sumber daya alam tambang.
Namun, prinsip-prinsip tersebut tidak diterapkan secara maksimal dalam pelaksanaannya. Sebagai akibatnya banyak muncul masalah, salah satu di antaranya adalah persoalan yang terjadi di Jomboran, D.I. Yogyakarta. Permasalahan Jomboran bermula dari pengaduan warga kepada Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta mengenai adanya aktivitas penambangan yang diduga ilegal di sekitar lingkungannya. Namun, imbas dari dilakukannya pelaporan tersebut adalah dikriminalisasinya para pelapor. Tudingan atas tuduhan yang dilayangkan adalah kekerasan terhadap barang dan orang, penghasutan, dan berbagai upaya untuk menghalangi aktivitas pertambangan. Pada intinya, resistensi warga terhadap aktivitas penambangan ilegal didasarkan pada keresahan terhadap dampak buruk aktivitas pertambangan terhadap lingkungan.
Kriminalisasi merupakan cara umum yang digunakan oleh penambang dan pihak-pihak yang mendukungnya untuk mengalihkan permasalahan utama ke dalam isu "para pejuang hak dan pembelanyaa yang telah melakukan tindakan kriminal." Pengalihan isu dan masalah ini sering terjadi pada banyak kasus atau konflik di seluruh Indonesia. Ironisnya, UU Minerba yang menjadi landasan hukum yang diyakini berwatak inklusif karena memberi pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat dan warga sekitar pertambangan, ada ketentuan yang mengarah pada pelegitimasian kriminalisasi.
Ketentuan tersebut tercantum dalam Pasal 162 UU Minerba yang menyatakan bahwa "Setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP atau IUPK yang telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)." Secara normatif pasal tersebut menentukan perlindungan bagi para pemegang izin pertambangan. Dengan kata lain, negara melalui aparat penegak hukum akan melindungi para penambang yang telah diijinkan untuk melakukan aktivitas pertambangan.
UU Minerba juga mengatur bahwa izin usaha pertambangan hanya dapat dikeluarkan dengan mematuhi berbagai prosedur wajib, termasuk pula pelaksanaan prinsip-prinsip pertambangan serta didasarkan pada aspek keamanan lingkungan hidup dan lingkungan sosial-ekonomi. Namun penyimpangan dapat terjadi dalam pelaksanaannya. Hal inilah yang membuat Pasal 162 UU Minerba menjadi kontraproduktif dan dapat menjadi landasan bagi para penambang yang sebenarnya tidak memenuhi syarat untuk memperoleh izin pertambangan namun tetap memperoleh perlindungan hukum.
Ketentuan pasal tersebut dapat menjerat pihak manapun atas dalih apapun bila dinilai telah memenuhi syarat hukum "mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang izin". Hal ini berbahaya karena berpotensi menempatkan warga atau pihak penolak berada pada posisi yang salah secara hukum. Karena itu, perlu dilakukan revisi sistematis terhadap berbagai ketentuan dalam UU Minerba, khususnya Pasal 162 UU tersebut. Perubahan dapat dilakukan dengan menambahkan penegasan bahwa izin pertambangan dapat ditangguhkan bila terdapat penolakan dari masyarakat. Penegasan ini diperlukan agar perlindungan terhadap pemegang izin pertambangan tetap selaras dengan perlindungan hak-hak masyarakat, yakni dengan memastikan izin pertambangan tersebut tidak merugikan masyarakat.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa UU Minerba pada dasarnya telah berusaha mengantisipasi terjadinya marjinalisasi masyarakat sekitar akibat aktivitas pertambangan mineral dan batubara. Antisipasi tersebut dilakukan melalui pengaturan tentang prinsip-prinsip pertambangan harus diadopsi oleh para penambang. Dua prinsip pertambangan yang relevan dengan tujuan mencegah terjadinya marjinalisasi adalah prinsip keadilan dan prinsip partisipasi. Selain itu, UU Minerba juga telah mengatur prosedur penerbitan izin pertambangan yang ketat guna memastikan kualitas lingkungan hidup dan lingkungan sosial tetap terjaga.
Meski demikian, UU Minerba juga mengandung pengaturan yang berpotensi mengkriminalisasi pihak-pihak yang tidak menyetujui aktivitas pertambangan yang dianggap merusak. Ketentuan dalam Pasal 162 UU tersebut mengatur bahwa pihak-pihak yang menghalangi aktivitas pertambangan yang telah memiliki izin akan berpeluang dijatuhi sanksi hukum pidana.