Halifah dan Dalilah (H dan D). Menyebut salah satu dari kedua nama ini, Dalilah hampir mirip dengan judul lagu Delilah yang dibawakan oleh Sir Tome Jones. Tapi, jangan membayangkan Delilah yang dimaksudkan dalam tulisan ini seperti Delilah yang dibunuh kekasihnya karena kedapatan berselingkuh. Delilah dan Halifah dalam cerita ini mengalami nasib berbeda, yakni "dibunuh" oleh mereka yang patut diduga bagian dari sindikat mafia tanah.
H dan D adalah gambaran perempuan yang teguh dan tangguh dalam memperjuangkan hak dan kepentingan atas tanah mereka di tengah gempuran sekelompok orang yang terindikasi bagian dari para mafia tanah. Sejak tahun 2010, kedua ibu bersahaja ini tidak lelah-lelahnya berjuang meluruskan informasi dan data dalam rangka perlindungan dan kepastian hukum serta mendapatkan keadilan atas tanah milik mereka mulai dari BPN Bekasi, BPN Jakarta Timur, Lurah Kelurahan Medan Satria, Bekasi dan Ujung Menteng, Cakung, kementerian ATR/KA BPN dan "bertempur" di pengadilan.
Awal mula kedua perempuan kuat ini masuk dalam pusaran sengketa tanah milik mereka yang telah dikuasai dan bersertifikat sejak tahun 1972 ketika gong Pelaksanaan Proyek Pembangunan Banjir Kanal Timur (BKT) ditabuh di tahun 2008. Proyek BKT yang seharusnya membawa berkat malah menjadi mimpi buruk bagi keduanya. Mereka tidak pernah membayangkan tanah hak milik mereka tiba-tiba diklaim banyak pihak dan ternyata ada tumpang tindih (overlapping) sertifikat. Keadaan ini menghambat mereka mendapatkan hak atas ganti rugi sebagian tanah untuk Pembangunan BKT dan pemanfaatan sisa tanahnya.
Di masa awal rencana proyek BKT semuanya masih berjalan lancar. Panitia Pengadaan Tanah (P2T) Pemerintah Kota Madya Jakarta Timur mengeluarkan Surat Tugas tentang pengukuran ulang peta bidang 13 atas nama H. Mansur (alm ayah dari H dan D) tertanggal 6 November 2008. selanjutnya, pada tanggal 5 Februari 2009, Badan Pertanahan Nasional Kantor Pertanahan Kota Madya Jakarta Timur mengeluarkan surat tugas kepada dua orang stafnya untuk melakukan inventarisasi/pengukuran ulang atas bidang tanah yang terkena proyek BKT atas nama H dan D. BPN Jakarta Timur pun pernah menerbitkan surat keterangan yang intinya menyatakan bahwa SHM atas nama H dan D belum pernah dibaliknama pihak manapun.
Nota Dinas BPN Jakarta Timur
Namun, kebingungan dan ketegangan muncul pada saat BPN mengeluarkan Nota Dinas yang ditujukan kepada Wali Kota Madya Panitia Pembebasan Tanah bahwa tanah kepunyaan H dan D sudah dihapus dan tidak berlaku lagi berdasarkan pengumuman Kepala BPN Jakarta Timur tahun 1997 dan SK Menteri Dalam Negeri No.228/HGB/DA/1974 telah menjadi HGB No.25/Medan Satria atas nama Pertamina.
Sungguh aneh. Instansi yang sama pernah mengeluarkan surat ukur dan keterangan tidak pernah beralih kepada pihak manapun, kemudian menerbitkan keterangan yang berbeda dan selalu berubah-ubah. Sayangnya lagi, BPN Jakarta Timur tidak dapat menunjukkan bukti otentik dari pengumuman dimaksud termasuk SK Mendagri yang menjadi rujukkan.
Namun demikian, H dan D terus bergerak meski Lelah mendera. Mereka mencoba melakukan investigasi untuk melacak kebenaran keterangan BPN tersebut. Hasil investigasi mereka menunjukkan bahwa nama mereka tidak termasuk dalam daftar nama yang ada dalam pengumuman BPN tahun 1997. Ketika hal ini disampaikan, BPN berdalih lain lagi. Tanah milik H dan D sudah beralih ke Pertamina berdasar keputusan Mendagri tapi nomor surat berbeda dan sekarang menjadi perumahan Modernland. Sementara itu, dalam kenyataan di lapangan lokasi tanah H dan D berada dikisaran 1,5 km dari perumahan modernland.
Tapi, rupanya pengalaman serupa tidah hanya dialami oleh H dan D. banyak juga pemilik tanah lainnya terutama pemegang SHM yang tahun penerbitannya sama. Misalnya, SHM 197 dan 198 yang berbatasan dengan tanah H dan D. Ketika pemilik SHM 197 dan 198 mengurus balik nama ke BPN Jakarta Timur, pada sertifikat milik mereka terdapat stemple yang menyatakan sertifikat ini tidak diterbitkan oleh BPN Bekasi. Sementara itu, pemilik lain mendapati keterangan sertifikat ini berada dalam penguasaan Pertamina.
Atas keterangan BPN Jakarta Timur yang berubah-ubah dan tidak didukung adanya bukti otentik sebetulnya patut dipertanyakan: bukankah pihak yang semestinya menyatakan keterangan demikian adalah BPN Kota Bekasi? Bukankah sertifikat atau dokumen-dokumen kepemilikan mereka yang sepakat melepaskan haknya harus menyerahkannya bukti kepemilikan kepada kantor pertanahan setempat? Bagaimana kalau faktanya SHM masih berada ditangan pemegang hak?.
Dalam kasus H dan D, selain fakta bahwa SHM masih dikuasai dan tanahnya sampai saat ini dikuasai secara fisik, mereka masih merasa perlu menguatkan bukti dengan terus melakukan penelusuran informasi dan data kepada BPN Kota Bekasi sebagai instansi yang menerbitkan SHM H dan D pada saat lokasi tanah milik mereka masih menjadi bagian dari Kabupaten Bekasi sebelum beralih ke Cakung, Jakarta Timur, lalu mengajukan surat permohonan perihal penjelasan tanah H dan D ke Lurah Kelurahan Medan Satria, Bekasi maupun Lurah Kelurahan Ujung Menteng, Cakung, Jakarta Timur. Hasilnya jelas-jelas menguatkan kepemilikan H dan D.