Lihat ke Halaman Asli

Elias Sumardi Dabur

Profile Singkat

Kalah Pileg

Diperbarui: 4 Mei 2019   17:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosok Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

    Pemilihan Umum Presiden dan Legislatif sudah dilaksanakansecara serentak pada 17 April 2019. Saat ini sudah masuk tahap perhitungan suara. Sebagian besar teman-teman caleg yang berlaga sudah tahu siapa yang bakal terpilih dan terpental dalam pertarungan dahsyat ini. Bagi caleg terpilih, perasaan merekatentunya berbunga-bunga. Sebaliknya, caleg yang tidak terpilih,sebagian dirundung nestapa dan penuh kebingungan.

    Sebagai orang yang pernah ikut berlaga, saya tentu pernah mengalami saat-saat penuh harapan, heroik dan bergelora dan masa penuh tekanan, duka lara dan nestapa tatkala hasil akhir pertandingan tidak sesuai yang diharapkan.

    Perasaan yang terbayangkan ketika saya terjun untuk pertamakalinya dalam politik praktis, dengan mencalonkan diri menjadi Anggota DPR RI dari Partai Keadilan dan PersatuanIndonesia (PKPI) pada Pemilihan Umum 2009 adalah: "Habis sudah. Kalau sampai kalah!" Sampai saat pendaftaran sebagai caleg, saya belum pernah merasakan yang namanya kekalahan.Apa yang saya inginkan selalu terwujud. Saya begitu percaya diri bahwa apapun bisa saya raih. 

    Tidak pernah terbayangkan bahwa saya ikut dalam kompetisi politik lebih awal. Saya baru selesai menjabat sebagai sekretarisjenderal Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik (PP PMKRI) dan Gerakan Mahasiswa Pemuda Indonesia (GMPI), ketika ikut pemilu 2009. Modal saya ketika itu semata-mata semangat dan ingin membangkitkan moral teman-teman muda, khususnya teman-teman muda dari NTT, untuk berani bertarung pada kompetisi politik tingkat tinggi.

    Tidak disangka, setelah melalui berbagai manuver dan lobby, saya ditetapkan sebagai caleg nomor urut 1 dalam Daftar CalonTetap (DCT) caleg PKPI pada Pemilu 2009. Sebagai catatan, sistem penetapan caleg pada masa pendaftaran sebagai calonpada bulan Agustus 2008 merujuk pada UU Pemilu Nomor 10 Tahun 2008 ditetapkan berdasarkan nomor urut. Belakangan, tepatnya pada tanggal 23 Desember 2008, Mahkamah Konstitusimembatalkan sistem ini dan mengabulkan  permohonan agar penetapan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak. Tidak adapilihan lain bagi saya, selain maju terus karena ini menyangkut kehormatan dan kepercayaan partai menempatkan saya pada nomor urut satu. 

    Kita semua tahu, politik tidak hanya mengandalkan reputasi, integritas, kemampuan personal, jaringan, tapi faktor yang tidak kalah penting, bahkan menentukan kelancaran kampanye adalah kemampuan finansial.

    Saya mengibaratkan diri saya waktu itu tengah berada di samudra luas. Mau mundur tidak bisa, mau menyerah berarti tenggelam, artinya kepercayaan partai akan hilang, dan orang menilai sebagai pengecut. Jadi, suka atau tidak suka, saya harus bertahan sampai pelabuhan tujuan, artinya bertarung sampai akhir.

    Spirit lain yang hidup kala itu ialah tidak mau ada penyesalan dan berandai-andai di kemudian hari. Andai saya berjuang seperti ini, andai saya tidak lengah, andai saya punya saksi sendiri dan lain sebagainya. Dengan modal seadanya dan tekad yang kuat, saya megarungi lautan perjuangan kompetisi sampai akhir.

    Meski hasil akhirnya kalah, karena partai PKPI tidak memenuhi suara ambang batas nasional (parliamentary threshold) sebesar 2,5 persen, saya tetap bersyukur bahwa perolehan suara saya tertinggi di antara 7 calon lainnya. Saya juga bersyukur meski tertatih-tatih bisa juga sampai di ujung pertandingan ini, bahwa saya masih sehat baik secara fisik maupun mental. Apa yang saya bayangkan semula akan habis kalau kalah, ternyata saya mendapati diri saya berbangga karena telah melewati pertarungan ini degan baik, meraih suara tertinggi pula.

    Walau demikian, tetap saja ada saat-saat penuh kebingungan.Bayang-bayang bahwa saya harus bangun lagi dari nol terus menggelayut dalam benak. Saya merasakan diri seperti terlempar, tercampakkan oleh kehidupan. Seolah, semua yang saya bangun, pengalaman, nama kampus menjadi tidak adaartinya. Saya benar-benar bingung dan terus bergumul.

    Namun, uniknya dan saya anggap ini rahmat, justeru dari situasi seperti inilah akhirnya melahirkan keputusan untuk belajar keterampilan baru dengan mengambil kuliah Ilmu Hukum,  suatu yang saya tunda-tunda terus sebelumnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline