Jangan terpengaruh oleh nama besar dan iming-iming keuntungan besar. Tapi pilihlah waralaba yang proporsional, realistis dan sesuai dengan minat, bakat setra pengalaman
---oooOooo---
Ketika mendengarkan presentasi tentang pekuang bisnis waralaba (franchise) dari pemilik merk atau membaca brosur/proposal yang diterima atau mengikuti tutorial intensif tata cara berwaralaba, apa yang kemudian terbetik di pikiran Anda? [caption id="attachment_86068" align="aligncenter" width="300" caption="Bersama Bpk. Anton, pewaralaba yg merasa terugikan oleh pemilik waralaba (elha.doc)"][/caption]
- Tertarik dan banyak bertanya
- Bersemangat untuk segera bergabung
- Menghitung keuntungan yang akan di raih
- Cuek Beibeh...
Bila point 1-3 yang Anda pilih, baik sebagian atau seluruhnya, maka Anda termasuk orang yang memiliki jiwa/naluri bisnis/usaha. Terlepas apakah itu bisnis normatif, tetoritis, reaktif atau aplikatif. Seperti sudah kamijelaskan pada artikel sebelumnya, http://ekonomi.kompasiana.com/wirausaha/2011/01/26/waralaba-solusi-dan-kemudahan-berinvestasi/ , waralaba adalah sistem usaha, dimana pemilik membiarkan orang lain untuk menggunakan nama, mereka, jenis usaha dan produk yang dijual dengan membayar sejumlah kompensasi tertentu (license). Waralaba atau franchise di Indonesia saat ini masih menikmati masa booming. Menurut data Departemen Perdagangan, sampai dengan bulan Juni 2009 terdapat 42.900 gerai waralaba dan menyerap 819.200 tenaga kerja. Selama tahun yang sama terjadi peningkatan sebanyak 1.010 usaha dengan komposisi 750 waralaba lokal dan 260 milik asing. Sedangkan omzet yang dihasilkan mencapai hingga Rp. 4,1 trilyun / bulan. Wuih, tentu saja waralaba kini menjadi seperti 'gadis' cantik yang siap dilamar dalam percaturan bisnis di Tanah Air. Menggoda siapa saja yang ingin mengembangkan usahanya dan investor yang berniat menanamkan modalnya di bidang usaha. Perlu diketahui bahwa usaha Waralaba atau franchise tidak berbeda jauh dengan dengan investasi pada saham, yaitu menanamkan modal dalam jumlah tertentu dan bersiap menghadapi berbagai kemungkinan resiko. Hanya bedanya nilai fluktuasi resiko saham lebih landai dibandingkan dengan Waralaba. Sebab, se-familiar apapun jenis waralaba tersebut, resistensi pasarnya lebih terasa, dan pengaruh faktor lain seperti kualitas manajemen, kompetitor, pengaruh musim (untuk produk tertentu) dan supplier sangat terasa. Karena itu jiwa dan naluri bisnis yang Anda miliki tadi perlu dibarengi dengan analisa keuangan, manajemen dan pasar. Jika ketiga analisa tersebut tidak dilakukan, maka bersiaplah menghadapi kemungkinan resiko yang lebih besar. [caption id="attachment_86069" align="alignright" width="300" caption="Mufti's Cake, milik Ibu Yuly di Rawasari"]
[/caption] Waralaba, meski sudah menjadi trend dan trade mark yang menguntungkan, dia tetaplah sebuah entitas bisnis, dimana profit adalah tujuan utama dari si pemilik waralaba. Pasar, dalam hal ini anggota atau pewaralaba, adalah barometer dari nilai keuntungan yang sudah dicanangkan. semakin besar prosentasi pasar yang dikuasai semakin tinggi pula nilai keuntungan yang diraih. Demikian sebaliknya. Tak heran jika para pemilik waralaba akan seoptimal mungkin menjaring pasar, membangun network dan menyusun proposal/brosul yang 'super menarik'. Tak terkecuali 'bumbu-bumbu' keberhasilan, keuntungan dan keunggulan merk dan produk waralabanya. Analisa Waralaba Dalam hampir setiap presentasi atau yang tersaji dalam brosur/proposal, pemilik waralaba optimis bahwa BEP (Break Event Poit) atau titik impas akan terjadi pada periode tertentu, misalnya 6 bulan. Beberapa pengalaman pribadi atau gerai-gerai sebelumnya pun ditampilkan untuk menguatkan argumentasinya. Pada titik ini, pewaralaba masih terlihat antusias dan semangat yang menggelora. Namun apakah optimismenya akan berlaku pada semua gerai yang akan dibuka? Bagaimana jika pada periode dimaksud justru rugi? Atau BEP hanya pada omzet penjualan saja? "Ahh, modal kembali saja sudah untung..dari pada rugi" mungkin itu yang ada di benak kita. Benar, modal kembali secara pisik materi, tidak ada kerugian yang diderita. Tapi kita sudah mengalami kerugian dalam hal waktu, tenaga, peluang dan nilai riel dari modal yang kembali. Karena itu perlu diperhtungkan secara cermat ketika hendak memutar dana pada sebuah waralaba. Sebuah entitas bisnis tidak serta merta memiliki cerukan pasar. Tidak ada jaminan gerai waralaba yang kita buka akan langsung diserbu pelanggan. Seterkenal apapun merek yang kita pegang, sehebat apapun rasa yang dimiliki produk tersebut, pasar memerlukan waktu untuk berkohesi. 1. Analisa Keuangan Analisa Keuangan berfungsi sebagai alat untuk memprediksi (forecasting) kondisi dan kinerja keuangan di masa yang akan dating dan atau sebagai alat untuk menentukan (Decide) visi, misi dan tujuan suatu institusi. Banyak metode analisa keuangan yang dapat dipergunakan perbandingan cash dan hutang, perputaran persediaan, periodisasi kembalinya modal, dlsb. Namun sebagai analisa awal kita dapat mempergunakan BEP Analysis, yaitu menghitung periode kembalinya modal dihitung dari laba yang diperoleh. Disini kita harus mencari data nilai Investasi Awal, biaya produksi, biaya operasional dan biaya tetap lainnya. Misalnya Investasi Waralaba Burger 'Z' sebesar Rp. 10.000.000,-., biaya produksi perunit Rp. 4.000,-, harga jual Burger 'Z' Rp. 8.000,-/satuan. Seandainya pemilik Waralaba sudah menyediakan gerai seperti gerobak/etalase, kita dapat menghitung langsung dengan rumus sederhana, yaitu Rp. 10.000.000,- / (Rp. 8.000 - Rp. 4.000) = 2.500. Artinya nilai investasi akan kembali bila pewaralaba sudah berhasil menjual produk snack tsb sebanyak 2.500 buah. Jika rata-rata penjualan mencapai 25 unit produk/hari, diperlukan waktu 100 hari penjualan untuk mencapai BEP. Bila unit burger yang terjual dibawah rata-rata perhitungan tsb, misalnya hanya 20 unit/hari maka diperlukan waktu yang lebih panjang lagi. Perhitungan sederhana tsb dilakukan jika dalam kontrak disebutkan secara detail bahwa gerai/etalase/gerobak/tempat disediakan oleh pemilik waralaba (franchisor). Bila tidak, maka biaya, biaya pembuatan gerai/etalase/tempat akan menjadi elemen biaya tetap yang menambah jumlah pembilang. Misalnya total pembuatan gerai/tempat sebesar Rp. 5.000.000,-, maka BEP baru akan diperoleh setelah melewati periode 150 hari (3.750 / 25) 2. Analisa Pasar Analisa pasar merupakan suatu identifikasi tentang pasar terhadap suatu produk/jasa. Faktor-faktor yang mempengaruhi analisa pasar itu harus berhubungan dengan kondisi pasar sesungguhnya. Hasil dari analisa pasar akan menunjukan suatu korelasi atau interaksi antara supply and demand (penawaran dan permintaan). Berapa besar penawaran yang ada dan berapa besar permintaan pasar. Masih adakah peluang untuk memasuki pasar tersebut. [caption id="attachment_86070" align="alignleft" width="300" caption="salah satu waralaba jenis chicken (elha.doc)"]
[/caption] Agak rumit memang, karena selain harus mengetahui kondisi masyarakat, selera dan pendapatan rata-rata diperlukan pula data lain seperti kekuatan kompetitor dan siklus produk. Namun kita dapat menyederhanakann analisa pasar untuk calon bisnis waralaba yang akan kita pilih. Misalnya dalam radius 3 (tiga) km ada berapa gerai burger 'Z', berlokasi di sentra ekonomi atau pemukiman dan berapa omzet penjualan rata-rata. Seandainya ditemukan 3 (gerai) dengan rata-rata penjualan 40 unit perhari, berarti masih ada cerukan pasar yang menjadi peluang. Atau hasil analisa lainnya seperti jarak lokasi satu dengan lainnya yang terlalu jauh, atau lokasi/sentra ekonomi lain seperti swalayan/pasar/sekolah/gedung olah raga dll yang belum terisi kita juga dapat menyimpulkan bahwa peluang untuk masuk dalam bisnis/waralaba Burger masih ada. Atau jika kita melihat adanya selera masyarakat terhadap Burger dan belum terpenuhi kita juga bisa memastikan pasar Burger 'Z' masih terbuka. 3. Analisa Produk Untuk yang ini kita buat yang sederhana aja.seperti kualitas rasa dibandingkan dengan produk sejenis. Jika Burger 'Z' memiliki cita rasa lebih tinggi, atau setidaknya mempunyai cirri khas rasa tersendiri, misalnya Burger rasa Stroberri, tentunya kita cukup nyaman untuk menjadikan waralaba ini sebagai alternative pilihan. Sebaliknya jika rasa yang dihasilkan dari olahan Burger 'Z' tidak lebih baik atau tidak ada perbedaan khusus, sebaiknya perlu dipikirkan kembali untuk memasukkan Burger 'Z' kedalam rencana investasi. 4. Analisa Harga Analisa harga adalah jenis analisa yang sangat simpel. Cukup membandingkan harga produk, dalam hal ini Burger 'Z' dengan produk sejenis. Bila besaran harga yang ditawarkan lebih rendah, atau setidaknya secara proporsional lebih rendah dibandingkan harga pesaing, Jenis Waralaba ini dapat menjadi salah satu rujukan. Pun sebaliknya. Dengan analisa yang mendalam kita dapat memprediksi kapan biaya penjualan akan kembali, berapa lama titik impas modal yang diinvestasikan dan berapa keuntungan yang dapat dihasilkan dari usaha waralaba. Semua hasil analisa tersebut akan menentukan efektivitas dari perkembangan dana pada usaha waralaba. Yang patut dicermati dan menjadi bahan pertimbangan adalah bahwa besarnya nilai investasi tidak selalu berkorelasi positif dengan tingkat keuntungan yang akan diraih. Artinya tidak semua investasi yang bernilai besar akan menjanjikan laba yang besar pula. Yang tak kalah pentingnya adalah menentukan pilihan usaha waralaba sesuai dengan minat, bakat dan pengalaman yang kita miliki. Bila tidak ada pengalaman, carilah jenis waralaba yang sudah teruji keberhasilannya, mudah diterima masyarakat dan dalam kontrak secara jelas tertulis memberikan bantuan 'pembuatan produk' serta manajemen. Nah, selamat mencoba. Semoga berhasil. . tulisan terkait sebelumnya : Waralaba solusi dan kemudahan dalam berinvestasi http://ekonomi.kompasiana.com/wirausaha/2011/01/26/waralaba-solusi-dan-kemudahan-berinvestasi/ . Salam cinta n ukhuwah --elha - Financial Planner-- KLINIK Usaha & Investasi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H