Lihat ke Halaman Asli

Lebaran Khas ‘Etnis yang Hampir Punah’

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Nek Armah, konon kabarnya sudah berusia 125 tahun, selain sebagai salah satu sesepuh kampung juga manjadi tumpuan warga untuk mengobati penyakit rhematik, masuk angin, salah urat, pegal-pegal tak terkecuali prosesi kelahiran

[caption id="attachment_263202" align="aligncenter" width="225" caption="Nek Armah_sudah berusia 125 tahu & masih aktif (elha.doc)"][/caption]

---oooOooo---

Suasana lebaran di Kampung Dongkal beberapa tahun terakhir terasa sangat berbeda. Lebih sunyi, lebih sepi dan banyak nuansa yang hilang. Bila pada masa sebelumnya keramaian Idul Fithri terasa hingga hari ketujuh/kesepuluh dan nuansa Lebaran bertahan hingga satu bulan lamanya. Kini keramaian Hari Raya hanya terasa beberapa waktu saja setelah sholat Ied dan ritme silaturahim tak lebih dari satu atau dua hari saja. Setelah itu, tak jauh berbeda dengan hari-hari biasa.

Kampung Dongkal yang masuk kecamatan Serpong, (saat ini) Kabupaten Tangerang Selatan adalah wilayah unik. Bersama Kampung Dongkal Seberang (Desa pondok Jagung), Kandang Sampi, Jelupang, Wates dan beberapa kampung dan desa lainnya dikenal sebagai daerah kulon oleh masyarakat Betawi dan Bogor. Hal ini bisa dilihat dari antara lain kreasi jurus-jurus gendang pencak yang cukup dikenal sebagai jurus kulon (Tangerang), sebutan orang kulon dari warga betawi, khususnya generasi tuanya dan penggunaan bahasa keseharian yang sebagian menggunakan istilahsunda khas banten.

Sementara bagi orang banten sendiri, meskipun secara historical dan emosional ‘sedarah’ dengan mereka, dan secara geografi masuk territorial provinsi yang dipimpin oleh Hj. Ratu Atut Chosiyah serta menjadi gerbang utama Banten diwilayah Timur/Selatan, namun mereka melihat masyarakat Tangerang cukup kental dengan warna ‘kebetawiannya. Alhasil, ‘etnis Tangerang’, seperti yang diwakilkan oleh masyarakat Kampung Dongkal, Dongkal Seberang, Kandang Sampi, Jelupang, Wates dan lainnya seolah menjadi entitas tersendiri. Entitas Tangerang Kulon.

Entitas yang berwarna santri, menguasai ilmu bela diri (silat) dan kebatinan, ramah, ceplas-ceplos, apa adanya dan sangat menghormati orang tua serta menghargai tamu. Perpaduan karakter Banten dan Betawi.

[caption id="attachment_263239" align="alignright" width="300" caption="Pemukiman 'etnis Dongkal' Tangerang (elha.doc)"][/caption]

---oooOooo---

Medio 1995, ketika Hari Raya Idul Fithri masih berada di tengah tahun, suasana lebaran Kampung Dongkal sangat ramai. Letusan petasan/mercon yang dibakar warga saling bersahutan. Masing-masing individu dan keluarga saling mengunjungi dengan membawa bawaan yang sengaja mereka masak khusus untuk keluarga, saudara dan kerabat.

Kondisi lingkungan yang dikelilingi oleh perkebunan karet, kacang, kelapa dan persawahan yang luas sangat mendukung pergerakan silturahim mereka. Saling bersalaman dilakukan tanpa melihat warna kulit, gender, keturunan, dan status sosial. Bahkan seorang tukang bakso yang kebetulan tidak libur pada hari Lebaran, selain sibuk melayani pembeli juga aktif menjawab ucapan selamat lebaran dan uluran tangan dari warga yang melintas.

Teriakan-teriakan memanggil nama pemilik rumah dari kejauhan adalah hal biasa. Umumnya bila ditelusuri, hampir semua penduduk memiliki pertalian darah antar mereka. Laksana sebuah keluarga besar yang terdiri dari sekian banyak desa.

Keramaian semakin menjadi ketika anak-anak berkumpul menantikan rejeki tahunan dari saweran warga. Anak-anak berlomba mencari uang logam dan uang kertas yang dilembar keudara. Saling tubruk, saling mendahului dan adu cepat. Semua dengan suasana damai dan penuh keceriaan. Subhanallah, indah nian nilai humanism mereka.

Hari kedua Idul Fithri lazimnya diisi dengan taklim (pengajian) khas Tangerang. Mereka para keluarga besar berkumpul di rumah sesepuh keluarga. Membaca yasin, tahlil, tahmid dan takbir serta mendoakan orang tua, masyarakat, kaum Muslimin dan anggota keluarga yang telah meninggal. Tak lupa hidangan khas berupa ketupat lebaran atau nasi, sayur lengkio (ikan asin jambal dan daun lengkio), opor atau rendang, dodol Betawi/banten, kue china, rengginang, keripik/bumbu chin, akar kelapa, kembang goyang dan sajian rupiah, plus sedikit pedupaan dengan aroma ‘menyan/belerang’. Ada juga yang dilakukan di tanah pemakaman keluarga atau halaman/pekarangan rumah.

[caption id="attachment_263247" align="alignright" width="225" caption="Bada_anak kedua Nek Armah menatap kosong (elha.doc)"][/caption]

Hari ketiga hinga tujuh hari kedepannya mereka saling beradu kuat dalam memukul beduk dan tetabuhan lainnya non stop. Tidak ada juri khusus karena sudah menjadi tradisi dan saling percaya serta saling mengakui kelebihan dan kelemahan lawan. Kalaupun ada sedikit ‘pertikaian’ umumnya lebih disebabkan oleh ketidakmampuan mereka menahan diri karena kalah (bukan tidak mengakui kekalahan).

Kini…….

Sedikit demi sedikit warna entitas mereka memudar. Diawali dengan pembangunan pabrik dan manufaktur diwilayah mereka yang menggusur areal persawahan. Dilanjutkan dengan pembangunan pemukiman yang ‘membebaskan’ rumah dan atau tanah sebagian warga atau areal perkebunan dan persawahan. Pembangunan perumahan yang satu diikuti dengan perumahan lainnya.

Awal tahun 2000, beberapa desa yang menjadi ‘ikon’ dalam kehidupan bermasyarakat mulai hilang dari ‘peta’ entitas ini. Terus berlanjut dengan semakin sempitnya ruang gerak mereka.

Lebaran kali ini, ketika kami kembali berkunjung dan bersilaturahim,……..gelengan kepala tak sanggup kami tahan. Sesepuh kampung yang dahulu menjadi sentral kegiatan keluarga dan masyarakat kini hidup dalam petak rumah kontrakan. Matanya yang sudah rabun, rambutnya yang sudah memutih dan kulitnya yang terlihat keriput membalut tulang tipis tubuhnya. Dia ditemani oleh anak keduanya yang kebetulan di’titisi’ ilmu penyembuhan.

Anggota keluarga lainnya berpencar. Ada yang mengontrak ditempat lain, ada pula yang membeli rumah dengan lokasi yang tidak strategis.

Tidak ada makanan khas seperrti dulu. Dodol Banten/Betawi yang dulu dibuat bersama dalam kuali besar, kini mereka beli dipasar dengan rasa yang tentu berbeda. Biscuit kaleng juga menjadi alternative penghias ruang tamu yang berfungsi juga sebagai ruang keluarga. Tak ada pengajian dihari kedua. Tak ada sayu lengkio, tidak pula ada pemotongan ayam/kambing layaknya menyambut hari Raya.

[caption id="attachment_263305" align="alignright" width="300" caption="Kue Akar kelapa_salah satu khas Betawie-Banten (elha.doc)"][/caption]

Beberapa tetangga yang dahulu ikut meramaikan suasana lebaran sudah berpindah tempat tinggal. Sanak saudara juga sibuk dengan peruntungan mereka di daerah lain. Anak dan cucu tak lagi tinggal bersama dalam satu kampung. Bahkan kampung mereka sudah hilang dari catatan.

Hanya saksi hidup yang menjadi ‘legenda’ sejarah.

Armah, nenek tua yang konon berusia 125 tahun menyimpan banyak nostalgia. Kisah pernikahannya dengan pria Arab Saudi yang melahirkan 7 (tujuh) orang anak, sekian banyak cucu, cicit dan anak dari cicit. Menurut anak keduanya, Bada, usia Nek Armah sekitar 125 tahun. Patokan pengukurannya adalah salah satu lokasi didaerah tersebut. Dari salah satu anaknya saja Nek Armah memperoleh 11 (sebelas) cucu dan 18 cicit. Belum lagi dari 6 (enam) anak Nek Armah lainnya……... Berapa tebak jumlah cucu, cicit dan anak dari cicitnya...???

Dahulu Nek Armah, ketika masih muda dikenal sebagai kembang desa, ‘kaya tanah’, memiliki pengaruh kuat, menjadi penyembuh dan memiliki kemampuan membantu orang melahirkan. Pernikahannya dengan Pria Arab Saudi semakin memperkuat ‘posisi’nya di masyarakat.

[caption id="attachment_263309" align="alignnone" width="300" caption="Makam di pelataran rumah sudah menjadi tradisi (elha.doc)"][/caption]

Keturunan Nek Armah yang juga memiliki pengaruh, baik dari sisi ekonomi ataupun ‘kekuatan persilatan’ memperpanjang sejarah hidup keluarga ini.

Dahulu, ketika setiap rumah memiliki sumur timba bersama, ketika kamar mandi mereka hanya tertutup daun kelapa, ketika perkebunan kelapa, kacang dan persawahan begitu dominan, ketika hampir setiap rumah memiliki padasan/tempayan tempat mencuci kaki di depan rumah, ketika suasana Lebaran terasa hingga satu bulan lamanya, kehidupan mereka sangat tertata. Sangat indah dan penuh kenyamanan.

Kini……

Semua seperti beban sejarah. Semua seolah hanya nostalgia yang bersungging senyum…..atau mungkin juga menghujam hati…..

[caption id="attachment_263314" align="alignnone" width="300" caption="tungku tempat memasak di belakang rumah (elha.doc)"][/caption]

Tak mustahil, entitas khas ini akan segera punah jika tidak ada upaya dari warganya, pemerintah atau pemerhati yang peduli dengan mereka……

Ketidak mampuan atau mungkin juga kepolosan mereka dalam menyambut pembangunan sedikit demi sedikit akan menggerus nilai, warna dan sejarah mereka sendiri.

Taqobalallahu Minna Waminkum. Mhn maaf y atas segala salah dan khilaf ane selama ini.

Salam ukhuwah

elha/KLINIK CINTA

www.jangankedip.blogspot.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline