Lihat ke Halaman Asli

Daerah dalam Angka: Merajut Data Lebih Akurat

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Diseminasi data atau yang lebih populer dengan istilah sosialisasi angka telah dilakukan oleh BPS sejak dulu. Tujuannya untuk memberi pemahaman mengenai angka-angka statistik yang dikumpulkan oleh BPS kepada masyarakat umum. Berbagai publikasi telah diterbitkan oleh BPS yang menyajikan data dan statistik. Berbagai upaya sosialisasi juga telah dilakukan agar tidak terjadi misinterpretation atau misunderstanding terhadap data-data yang dihasilkan oleh BPS.

Tidak dapat dipungkiri bahwa BPS bukanlah instansi populer di khalayak umum seperti halnya instansi vertikal lainnya yang gaungnya lebih menggema. Pemanfaatan data-data yang dihasilkan pun kalah pamor dibandingkan lembaga survei independen. Mirisnya lagi, BPS dikenal masyarakat oleh sejumlah pemberitaan miring dari media cetak dan elektronik. Pada tahun 2008, nama BPS ramai diberitakan seputar masalah pembagian BLT (Bantuan Langsung Tunai) setelah kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM sebanyak tiga kali. Pada tahun 2013, kejadian serupa kembali terulang meski dengan istilah berbeda, yaitu BLSM. BPS menjadi bulan-bulanan pemberitaan media cetak maupun media elektronik mengenai keabsahan data yang dihasilkan BPS yang digunakan sebagai dasar pembagian bantuan pemerintah (BLSM, red).

Bila lembaga survei semisal LSI (Lingkar Survei Indonesia) mengedepankan penghitungan cepat (Quick Count) dengan keakuratan yang cukup baik, maka BPS perlu berbangga bahwa dalam Undang-undang No. 16 Tahun 1997 mengenai statistik, bahwa BPS adalah satu-satunya instansi yang menyelenggarakan statistik dasar. Produk lain yang menonjol adalah publikasi Daerah Dalam Angka (DDA) dari level provinsi hingga kab/kota. Bahkan BPS juga telah mewajibkan penyusunan Kecamatan Dalam Angka (KDA) untuk level kecamatan.

Daerah Dalam Angka merupakan publikasi yang cukup prestius karena melibatkan data-data dari stakeholder terkait. Meski disusun oleh BPS, Daerah Dalam Angka berisi sekitar 80 persen dari SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) di tingkat provinsi maupun kab/kota. Ketersediaan data tergantung dari SKPD tersebut hingga masing-masing daerah memiliki keberagaman data sesuai potensi wilayahnya. Meski hampir keseluruhan data dalam DDA menampilkan data SKPD, tidak berarti bahwa proses pengumpulan data mudah dan cepat. Justru ketepatan waktu sering menjadi masalah. Belum lagi konsistensi dan kelengkapan data yang menyebabkan waktu yang lebih lama untuk menelaah dan cross chek data.

Meski sumber data dalam DDA sebagian besar berasal dari non BPS, bukan berarti BPS hanya sekedar menyusunnya tanpa konfirmasi seperti uji validasi untuk keakuratan dan konsistensi data. Setiap pengguna yang memanfaatkan data-data dalam DDA tetap menganggap bahwa DDA adalah milik BPS sekalipun mencantumkan sumber data. BPS harus selalu serba tahu untuk setiap data-data yang tercantum dalam publikasi DDA meliputi ketidakwajaran data, series data yang kurang lengkap maupun data yang tidak konsisten bila dijejerkan DDA selama beberapa tahun. Ironisnya sebagian besar SKPD yang mencantumkan datanya kurang memahami pentingnya syarat-syarat suatu data dikatakan valid berdasarkan kaidah statistik.

Permasalahan yang sering dialami oleh petugas BPS pada saat pengumpulan hingga penyusunan data untuk publikasi DDA, termasuk KDA mencakup petugas, misalnya kabid atau staf yang menangani data di instansi SKPD tersebut berganti-ganti hingga menyebabkan data kurang lengkap bahkan tidak tersedia sama sekali dikarenakan petugas sebelumnya tidak memberikan data untuk diarsipkan setelah pindah antar instansi atau dimutasi. Permasalahan lain yang cukup riskan bahwa data yang diberikan ke BPS berbeda antara instansi provinsi, kab/kota maupun level kecamatan. Bahkan ada sebagian besar data SKPD yang berbeda bila disandingkan dengan data departemen/kementrian yang terkait dengan lingkup SKPD tersebut.

Bila terjadi perbedaan data pada setiap level wilayah adminstratif dalam lingkup SKPD bersangkutan, lantas bagaimana BPS menyikapinya?DDA adalah publikasi yang paling diminati oleh user karena berisi berbagai data. Adanya publikasi ini diharapkan masyarakat lebih sadar akan pentingnya data dalam pemanfaatan data lebih luas terutama dalam penentuan kebijakan oleh decision maker. Bila SKPD terkait kurang kesadaran akan data yang mereka kumpulkan serta pemanfaatannya maka DDA hanya sekedar buku tanpa makna dan manfaat. BPS perlu membangun sinergi yang koheren dan kontinu dengan SKPD terkait. Sinergi tidak hanya sebatas koordinasi mengenai data melainkan sharing ilmu statistik yang berkaitan dengan data mereka, terutama pemahaman akan manfaat data dalam segala aspek pembangunan.

Dengan adanya koordinasi intensif antara BPS dan SKPD terkait secara berkesinambungan dapat dimulai dari pembenahan pada publikasi DDA. Pembenahan tidak hanya dari aspek non teknis, namun terutama dari sisi teknis karena keakuratan data dalam publikasi akan membawa citra positif bagi kedua pihak sehingga ke depannya pemanfaatan data dan statistik lebih meluas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline