LGBT adalah akronim dari "lesbian, gay, biseksual, dan transgender" dibuat dengan tujuan untuk menekankan keanekaragaman "budaya yang berdasarkan identitas seksualitas dan gender" intinya istila LGBT digunakan untuk semua orang yang tidak heteroseksual. Keberadaan manusia dengan kecenderungan LGBT merupakan sebuah fenomena yang ada sejak masa lalu. LGBT bukan produk kebudayaan modern , bukan juga produk kebudayaan Barat melainkan ini ada dalam masyarakat kita dan secara sosio-antropologis LGBT ini sudah sejak dulu diakomodasikan dalam budaya beberapa suku di dalam masyarakat kita.
Dalam perespektif HAM, hubungan seksual yang menyimpang ini menurut saya tidaklah begitu rendah dan hinanya. Bila kita sadar dari sudut kacamata HAM, manusia sama di hadapan Tuhan dan Hukum. Tidak seorang pun menghendaki dilahirkan ke dunia ini dengan keadaan yang menyimpang, dan juga tidak dibenarkan adanya suatu kaidah hukum apa pun membedakan orang yang satu dengan yang lain.
Seluk-beluk LGBT memang menarik untuk dibicarakan, terlepas dari apakah kita pro atau kontra, ada baiknya kita mengetahui dunia LGBT saat ini karena tidak sedikit pula LGBT yang mau menikah heterogen dengan pasangan di luar kaumnya. Gay adalah sebuah istilah yang umumnya digunakan untuk merujuk orang-orang yang homoseksual. Bagi pasangan gay, harus ada yang berperan sebagai perempuan dan laki-laki di antara mereka berdua, untuk gay yang berperan sebagai perempuan disebut bottom dan yang jadi laki-laki disebut top. Sedangkan, untuk lesbian yang berperan sebagai perempuan disebut femme dan yang menjadi laki-laki disebut buchi. LGBT pada dirinya sendiri bukanlah sebuah persoalan. LGBT menjadi persoalan karena kitalah yang mempersoalkannya. Kitalah yang memberinya stigma negatif. Oleh karena itu dibutuhkan sikap yang sangat matang , rendah hati, rasional serta kemampuan bersikap adil dalam menyikapi kasus ini. Saya pun tertarik untuk mendalami kasus ini berdasarkan hasil refleksi pribadi.
Siapa yang pernah menyangka dia pernah dilahirkan sebagai seorang yang memiliki kecenderungan homoseksual? Atau siapa yang pernah menyangka kalau dia nantinya akan dilahirkan sebagai seorang yang memiliki kecenderungan sebagai seorang yang memiliki kepribadian ganda (sebagai laki dan sebagai perempuan). Semua orang menghendaki yang terbaik bagi kehidupannya. Namun, harus diingat bahwa kita sama sekali tidak berhak menentukan sejauh mana kehidupan kita di masa depan. Dalam wacana iman, hal ini sering disebut sebagai takdir. Siapa yang berani menolak takdir kalau dia dihadirkan sebagai seorang LGBT?.
Fenomena LGBT dalam kehidupan masyarakat harus dilihat dalam terang nurani yang dalam. Orang harus berani menyadari dengan sungguh bahwa kaum LGBT juga gambar dan rupa Allah. Segala bentuk diskrimnasi terhadap mereka harus dilawan apalagi berhubungan langsung dengan diskriminasi sosial yang kadang membuat mereka sangat terpinggirkan. Harus diakui bahwa dalam banyak agama, penerimaan terhadap LGBT belum sepenuhnya baik. Ekspresi kehidupan mereka kadang dibatasi. Misalnya ketika mereka harus berhias atau memakai make up sebagai seorang perempuan kadang dilihat sebagai sebuah kejanggalan atau sebuah penyakit; hal yang sama juga seorang yang berjenis kelamin perempuan tetapi memikili kecenderungan untuk tampil seperti laki-laki. Penerimaan terhadap LGBT mesti dilakukan. Alasan penerimaan terhadap LGBT adalah konsep HAM yang harus dipahami secara menyeluruh dalam kehidupan bersama. Selain itu dalam terang iman, mereka adalah manusia yang merupakan ciptaan Tuhan seperti kita yang dilahirkan heteroseksual, untuk itu kita tidak boleh memperlakukan LGBT seperti bukan bagian dari kita yang memiliki hak penuh dalam kehidupan bermasyarakat.
Bila dipandang dari agama katolik saling mengasihi itu penting dan betapa ajaran cinta kasih sangat dijunjung tinggi. Dalam hal ini sebagai manusia beriman kita perlu saling menerima, saling mengasihi, saling menghargai dan saling menghormati satu sama lain. Seperti ungkapan pribadi Paus Fransiskus dalam film dokumenter, "kaum homoseksual punya hak untuk berkeluarga. Tidak ada yang boleh dibuang atau dibuat sengsara karenanya. Apa yang harus kita buat adalah undang-undang tentang persatuan sipil." Meskipun keyakinan resmi Katolik bahwa homoseksual "secara intrinsik tidak layak", karena menyalahi kodrat, setidaknya Gereja punya hati untuk melindungi mereka.
Bersikap positif dan realistis terhadap keanekaragaman berarti kita melawan ketidakadilan, diskriminasi, eksploitasi dan penindasan terhadap sesama manusia, segala makhluk dan segenap ciptaan Allah. Martabat manusia menjadi alasan bagi segenap manusia untuk menghormati semua orang termasuk kaum LGBT. Mereka harus dihormati bukan didiskriminasi atau diisolasikan dalam kehidupan bersama. Kita berupaya mendialogkan segala perbedaan itu tanpa prasangka negatif, kita menjaga dan memelihara persekutuan manusia yang beranekaragam ini agar mendatangkan kesejahteraan bagi umat manusia dan bagi semesta.
Penerimaan terhadap kaum LGBT mesti menjadi bagian dari diri setiap orang. LGBT harus dipahami dalam kacamata mereka. Jika hal tersebut dipandang dari persepektif yang berbeda maka ketimpangan ide dan realitas pasti terjadi. LGBT masti ditinjau dari mereka yang merasakan dan mengalami diri sebagai kaum LGBT. Penghormatan terhadap kaum LGBT perlu didasari oleh pendekatan objektif. Artinya semua orang perlu masuk dalam kehidupan mereka, merasakan dan melihat situasi mereka.
Menjadi kaum LGBT bukanlah merupakan sebuah dosa atau bentuk kutukan dari Tuhan bukan pula suatu penyakit. Justru orang yang menghalangi hak kaum mereka adalah orang-orang yang terkutuk karena telah melukai citra Allah. Dalam hal ini, penghormatan terhadap hak-hak kaum LGBT harus dijunjung tinggi sebab mereka juga mempunyai hak dan martabat seperti manusia lainnya. Kenyataan bahwa dalam status sosial masyarakat mereka adalah orang-orang lemah maka dalam mengedepankan prinsip bahwa semua manusia adalah citra Allah, harus dipahami bahwa mereka juga layak mendapat perlakuan yang sama dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.
Diskriminasi terhadap LGBT merupakan bentuk pelanggaran atau dosa. Seharusnya mereka layak mendapat tempat dalam kehidupan masyarakat bahkan mereka juga mesti diberi ruang untuk menjadi pemimpin masyarakat. HAl ini memang tidak mudah, perjuangan untuk mewujudkan kesetaraan gender dan transgender menjadi cita-cita yang sangat besar. Apalagi berhadapan dengan pola kehidupan masyarakat yang cukup radikal dalam penghayatan nilai-nilai keagamaan dan sudah menanamkan stigma sosial bagi mereka secara turun-temurun. Apa yang harus ditempuh untuk mengatasi persoalan ini? Siapa yang akan memerdekakan mereka? Siapa lagi kalau bukan kita. Orang harus berani untuk menerima keberagaman gender termasuk LGBT. Persoalan mengenai status sosial berupa jenis kelamin merupan pesoalan parsial yang bisa diselesaikan. Yang menjadi persoalan utama adalah apakah kita mau mengakui mereka dalam kehidupan kita setiap hari? Pengakuan terhadap martabat LGBT harus segera dimulai dari diri sendiri apalagi dalam konteks kehidupan sosial dan agama sehingga kita bisa memberi pemahaman kepada orang-orang yang menolak mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H