Istilah Islam Kaffah berangkat dari QS. Al-Baqarah 208, (Udkhulu fi al-Silm Kaffah). Sebagai sebuah istilah yang memakai pijakan dari al-Qur'an tentu mendapatkan tempat yang lebih dalam tataran masyarakat. Jika ditilik secara tafsirnya, kata al-silm sendiri telah mengalami berbagai perbedaan pendapat. Sebagai contoh dalam kitab tafsir bercorak bi al-Ma'tsur (riwayat) seperti tafsir Jami' al-Bayan fi al-Ta'wil al-Qur'an karya Ibn Jarir al-Thabari dan al-Dur al-Mantsur karangan Imam al-Suyuthi, dan tafsir klasik lainnya seperti al-Jami' li Ahkam al-Qur'an karangan al-Qurthubi dan Tafsir al-Qur'an al-'adzim karangan Ibnu Katsir. Sebagai contoh, keempat tafsir tersebut memiliki haluan yang sama dalam menafsirkan sebuah ayat al-Qur'an. Namun dari keempat tafsir tersebut semua sepakat bahwa tafsir al-Thabari sebagai satu-satunya tafsir yang membahas secara komprehensif mengenai riwayat penafsiran.
Mayoritas tafsir klasik menyuarakan tafsiran yang sama dalam memahami kata al-Silm. Mereka sepakat bahwa kata al-Silm dalam ayat tersebut bermakna Islam. Oleh karena itu bisa dikatakan Islam di sini diartikan sebagai agama, seperti pendapat al-Thabari dalam tafsirnya, ia mengatakan bahwa bunyi tafsiran ayat tersebut adalah perintah untuk masuk ke dalam Islam secara menyeluruh, dengan mengikuti apa yang datang kepada Nabi Muhammad berupa pengaplikasian syariat Islam secara totalitas.
Jika diperhatikan, tidak ada yang salah dari penafsiran masa klasik atau bahkan upaya melegitimasi istilah tersebut pada masa dahulu. Kontroversi terhadap idiom tersebut baru muncul pada masa modern ini dibarengi dengan munculnya beragam macam jaringan Islam radikalis dan fundamentalis yang masih tetap sama pola pikirnya menghendaki romantisme Islam pada zaman Nabi dan para sahabat. Bagi mereka yang mendukung Khilafah Islamiyyah tentu idiom Islam kaffah merupakan hal yang sejalan dengan ide-ide atau gagasan-gagasan politiknya. Contoh kongkritnya adalah mereka harus berjenggot, jidat item, celana tanggung, dan bagi perempuan harus bercadar. Anggapan mereka dengan melakukan style atau gaya seperti itu menandakan mereka telah berislam secara kaffah (full: tidak setengah-setengah).
Lebih dari sebuah gaya, hal yang paling menggelisahkan adalah berislam Kaffah dengan menyentuh ranah negara. Negara yang tumbuh dan aman dengan konsep ideologi yang matang mencoba untuk digoyahkan oleh mereka. Di dalam Indonesia, kita bisa menyebut HTI (Hizbut Tahrir Indonesia). Sebagai organisasi berbasis Islam, HTI ini bidikan utamanya adalah para mahasiswa yang bisa dikatakan awam terhadap agama sehingga mudah untuk terdoktrin untuk mengikuti organisasi tersebut. Beberapa kali dalam orasinya mereka mengkafirkan Pancasila sebagai thagut dan harus diganti dengan hukum Allah.
Hal tersebut yang kemudian memunculkan polemik bagi kalangan ulama dan cendekiawan Muslim, seperti Abdurrahman Wahid dan Ulil Abshar Abdalla, Gus Dur dalam bukunya Islamku Islam Anda Islam Kita mengkritik idiom Islam Kaffah yang menafsirkan al-Qur'an secara literal. Gus Dur menilai, jika al-Silm dalam QS. Al-Baqarah 208 tersebut diartikan dengan Islam, maka dari situ muncul istilah Islam Kaffah yang baginya merupakan suatu tindakan subversif kebahasaan yang tidak dikenal di dunia Arab dan hanya dikenal di Indonesia. Bahkan lebih dari itu, resiko dari penafsiran al-silm dengan arti Islam tersebut dengan sendirinya harus ada sebuah entitas formal dan negara kelas dua. Seperti juga Ulil Abshar yang meragukan pelaksaan Islam secara totalitas pada zaman sekarang, dengan dalih melihat pluralitas agama dan kultur budaya.
wa Allahu a'lam bi al-shawab...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H