Lihat ke Halaman Asli

Proyek Orientalisme (Sebuah Prolog)

Diperbarui: 22 April 2016   10:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Barat dengan segala pendeketan metodologinya telah berhasil mengkaji sumber-sumber normatif Islam seperti al-Qur’an dan hadits dan keilmuan Islam lainnya. Hal demikian dilakukan secara turun menurun sejak awal, dapat dikatakan lebih kepada motif keagamaan atau ideologi. Di samping itu atas dasar motif penelitian terhadap keilmuan tidaklah lebih. Kecenderungan subjektifitas akan penelitian mereka sangat kental sekali. Bisa dilihat dari berbagai hasil karya yang mereka sajikan dari penelitian terhadap al-Qur’an dan hadits maupun keilmuan Islam yang lain. Tidak jarang dari mereka mengambil hipotesa yang mengerikan dengan menghujat terhadap al-Qur’an dan hadits yang paling dominan.

Upaya-upaya untuk melemahkan keotentikan sumber-sumber keIslaman tersebut sudah menjadi tradisi di kalangan cendekiawan barat yang biasa kita sebut dengan orientalis. Kendati pun sebagian mereka  menghasilkan inferensi-inferensi yang objektif dalam artian berhasil menghilangkan background yang menjadikan ciri khas ke-barat-an mereka yang dinilai anti terhadap Islam. 

Salah satu langkah serius yang dilakukan para kalangan orientalis bisa dilihat dengan tokoh-tokoh dari mereka dan karya-karyanya. Dengan objek keilmuan yang berbeda-beda. Seperti dalam kajian tokoh utama dibalik suksesor Islam yakni Nabi Muhammad. Bisa dilihat dari karya Montgoworry Watt dengan karyanya “Muhammad, Prophet and Statesman”,  karya Karen Amstrong yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Muhammad Sang Nabi”, dan lain-lain. Dengan pendekatan terhadap kajian keislaman terhadap mazhab-mazhab tafsir , bisa dilihat dalam karya Ignaz Goldziher  dalam bahasa Arab “Madzahib al-Tafsir al-Islami” yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Louis Massignon yang begitu tertarik terhadap kajian mistisisme Islam yakni tasawuf, ia sandarkan pada sosok al-Hallaj yang dianggap telah menguatkan pandangan atau gagasannya terhadap wacana-wacana persatuan agama-agama atau yang biasa disebut dengan Wihdah al-Adyan. Bahkan terdapat komunitas yang menamakan dirinya Ibn ‘Arabi society yang mengusung pluralisme antar agama. Selain Massignon, hal serupa dilakukan oleh Annemarie Schimmel yang fokus kajiannya dengan menitikberatkan pada dimensi-dimensi mistik Islam terbukti dengan karya-karya yang telah dihadirkannya. Dan lain-lain.

Hal-hal demikian menurut penulis merupakan salah satu bentuk keseriusan mereka dalam mengkaji transferensi (teks-teks keagamaan) atau keilmuan Islam lainnya seperti teologi, fikih, tasawuf, kritik sejarah, filologi dan kajian para tokoh-tokoh sentral yang berpengaruh kuat terhadap proses sejarah Islam. Tidak heran terkadang dari sebagian mereka menghasilkan karya yang mencengangkan seluruh cendekiawan atau ulama Muslim di penjuru dunia. Lagi-lagi mereka belum bisa lepas dari apa yang biasa disebut dengan objektif (kendatipun terkadang ada beberapa tokoh yang dinilai objektif), karena motif keagamaan sudah memegang peranan yang penting dalam mewarnai sejarah perkembangan gerakan orientalis. Terkadang terdapat karya yang menghujat sosok sentral dibalik otoritas sang penerima wahyu yakni Nabi Muhammad Saw. Kemudian pemberian cap  non-otentik terhadap al-Qur’an dan hadits dengan berbagai dalih atau alasan lainnya dari mereka. Sebenarnya yang mereka cari merupakan akal-akalan semata dengan semangat yang tinggi tetapi hasil yang diraih adalah nihil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline