Politik Identitas. Kata ini menjadi sering digaungkan, dalam percaturan politik Indonesia beberapa tahun terakhir. Lantas apa itu politik identitas? Tulisan ini akan membantu saudara untuk memahaminya dari kacamata historisitas.
Secara etimologi, kata politik berasal dari akar kata bahasa Yunani yakni polis yang berarti kota yang berstatus negara kota (city state).[1] Menurut Aristoteles, dalam negara kota pada zaman Yunani, orang-orang saling berinteraksi guna mencapai kesejahteraan atau kebaikan dalam kehidupannya.[2] Istilah "politik" awalnya dikenal pada masa Plato, dimana istilah ini terdapat dalam bukunya yang berjudul "Politeia" yang dikenal dengan istilah "Republik", kemudian berkembang melalui karya Aristoteles "Politica". Karya Plato dan Aristoteles ini dilihat sebagai titik pangkal pemikiran politik pada masa perkembangannya, dimana istilah "politik" dipahami sebagai sebuah konsep pengaturan masyarakat, karena kedua karya tersebut mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masalah bagaimana pemerintahan itu dijalankan agar dapat terwujud kelompok masyarakat politik atau suatu organisasi yang baik. Sehingga dengan demikian konsep tersebut mengandung beberapa unsur didalamnya, yakni seperti lembaga yang berfungsi untuk menjalankan aktivitas pemerintahan, kelompok masyarakat sebagai pihak yang berkepentingan, kebijakan dan hukum-hukum sebagai sarana pengaturan masyarakat serta cita-cita yang hendak dicapai. [3]
Politik yang berkembang pada zaman Yunani pada saat itu dapat diartikan sebagai suatu proses interaksi antara individu yang satu dengan yang lain untuk mencapai "kebaikan bersama". Kebaikan bersama, bukan untuk kebaikan kelompok atau diri sendiri, ini perlu digarisbawahi sebab inilah maksud dan tujuan dari politik itu sendiri, sehingga ketika Politik keluar dari nilai luhurnya maka pemaknaan-Nya menjadi berbeda dengan asalmuasal-Nya. Namun melihat perkembangan saat ini, kata "politik" mulai dimaknai sebagai sesuatu yang kotor, sesuatu yang tidak baik yang perlu dijauhi sebab memasuki dunia politik sama dengan masuk pada kandang harimau yang lapar.
Sedangkan identitas, menurut Suparlan identitas atau jati diri diartikan sebagai suatu bentuk pengakuan terhadap individu atau suatu kelompok tertentu yang menjadi satu kesatuan menyeluruh yang ditandai dengan masuk atau terlibatnya individu atau suatu kelompok tertentu yang menjadi satu kesatuan menyeluruh yang ditandai dengan masuk atau terlibatnya individu dalam kelompok atau golongan tertentu. Penggabugan individu kedalam kelompok tentunya karena ada rasa persamaan yang didasari oleh identitas, seperti identitas agama, etnis, profesi, dll. Sehingga membentuk suatu kelompok identitas yang didasari atas kesamaan identitas. [4]
Berdasarkan pemaparan dari dua suku kata Politik dan Identitas, beberapa tokoh mengemukakan pemahaman-Nya terkait apa itu Politik Identitas. Menurut Agnes Heller, politik identitas merupakan politik yang memfokuskan pada perbedaan sebagai kategori utamanya, seolah-olah memberikan kebebasan yang dilandasi janji dan toleransi yang pada kenyataannya menimbulkan pola-pola intoleransi yang menyebabkan pertegangan etnis dan kekerasan. Menurut pandangan Buya Syafi, secara substantive politik identitas ini dikaitkan dengan kepentingan anggota-anggota sebuah kelompok social yang merasa diperas dan tersingkir oleh dominasi arus besar dalam sebuah bangsa atau negara. Kemudian menurut Joseph Klen, politik identitas merupakan kecenderungan orang-orang dari ras, agama, jenis kelamin atau etnis tanpa memperhatikan kelompok kolektif yang lebih besar. Hampir sama dengan Klen menurut Lucmantro, politik identitas adalah politik yang mengutamakan kepentingan anggota kelompok karena memiliki kesamaan identitas atau sifat berdasarkan ras, suku, jenis kelamin, dan agama. Politik identitas adalah formulasi lain dari politik yang berbeda. Politik identitas adalah tindakan politik yang memandu keinginan untuk mempengaruhi politik dan berusaha untuk mengontrol distribusi nilai-nilai yang dianggap berharga untuk penentuan nasib sendiri berbasis primal, persyaratan paling dasar.
Secara historisitas, istilah politik identitas ini muncul pada tahun 1970-an. Munculnya istilah tersebut disebabkan oleh munculnya gerakan sosial yang dilakukan oleh orang-orang atau kelompok-kelompok Amerika-Afrika sejak tahun 1950-an. Era ini memicu adanya gerakan sipil dari berbagai kelompok yang menuntut kesetaraan (equality) dan kebebasan (freedom). Civil Rights Era merupakan perjuangan dari gerakan mahasiswa SNCC (The Student Nonviolent Coordinating Committe) yang adalah gerakan sipil di Amerika Serikat pada tahun 1960.[5]
Gerakan-gerakan sipil yang lain muncul di tahun 1970-an akibat adanya diskriminasi yang terjadi terhadap orang Amerika dan Afrika kulit hitam. Aksi protes dilakukan tanpa kekerasan, digerakan secara masif, dengan tujuan menuntut dihilangkannya pola-pola pemisahan rasial yang saat itu terjadi di Amerika Selatan. Kebijakan rasial itu mengandung aturan, seperti kelompok Amerika berkulit hitam tidak diperbolehkan menggunakan fasilitas-fasilitas umum, yakni sekolah, gereja, restoran, bus dan fasilitas lain bersama dengan kelompok berkulit putih. Mengutip apa yang disampaikan oleh Hugh Davis Graham, pada tahun 1960-1970-an, ditemukan beberapa kebijakan negara yang cenderung melemahkan hak-hak masyarakat sipil terkhususnya terhadap kelompok minoritas. Penandatanganan Civil Right Act oleh Presiden Amerika, Lyndon B sebagai kesepakatan hukum membawa titik terang bagi perubahan besar terhadap kelompok minoritas. Dimana Civil Right Act ini untuk menandai penghapusan diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, agama, asal bangsa dalam berbagai program pemerintah. Sehingga berkaitan dengan hal ini, identitas memainkan peran penting untuk menciptakan solidaritas dan persatuan di antara kelompk-kelompok kiri (tertindas) tersebut sekaligus sebagai perlawanan atas ketidakadilan dan kesetaraan oleh kelompok kanan (penguasa).[6]