Lilik Fatimah Azzahra, No. 122
Seperti biasa, wajahmu kaku memandang tepi senja. Tak kau hiraukan hadirku. Tak kau sapa aku dengan ujung senyummu.
Seperti biasa pula, langit senja terburai awan semburat merah. Kau masih berdiri angkuh. Meski sudut matamu mulai meramah.
Hinga kuberanikan diri membuka tanya.
"Tak adakah ruang bagiku?"
Kau menggeser langkah. Mendekat. Terasa degup jantung berpacu tanpa birama. Bahkan saat lengan kokohmu meraih jemariku, aku tersulut mimpi.
"Jangan merayuku," bisikmu sembari melempar tatap penuh harap. Aku tak mampu menjawab. Tapi aku mengerti. Bahkan lebih dari sekedar mengerti.
"Che..." suaraku tercekat.
"Maafkan aku, ruang ini telah terisi." Perlahan kau sentuhkan jemariku di dadamu. Tiada degup terdeteksi.
"Aku tahu ini menyakitkan." Mata elangmu menyambar sendu. Aku terkulai. Bibir terkatup tak mampu meramu kata.
"Lupakan aku. Anggap saja aku tak pernah ada...."