Rasa sakit datang karena hidup di masa lalu, dan rasa cemas singgah karena hidup di masa depan. Lantas apa yang engkau risaukan? Bukankah kita hidup di masa sekarang?
Padepokan Siur Bertuah
Pagi yang cerah. Kicau anak-anak burung kenari bersahutan di atas dahan. Membangunkan tidur lelap Nyai Fatimah.
Usai menyelonjorkan kaki perempuan itu beranjak dari pembaringan, melangkah menuju jendela, membuka daunnya lebar-lebar dan berdiri menatap pepohonan yang tumbuh rindang di halaman samping padepokan. Bibirnya tersenyum manakala menyadari rasa sakit di pundak kirinya sudah agak mereda.
"Bagaiman kondisimu pagi ini, Nyai?" Sebuah suara membuatnya melongokkan kepala ke luar jendela. Dilihatnya Busu, Pendekar Dua Pintu, tersenyum ramah ke arahnya.
"Lumayan baik. Terima kasih ya, sudah susah payah mencarikan aku obat penawar racun." Nyai Fatimah membalas senyum pendekar tampan yang baik hati itu. Ia merasa punya hutang budi. Sesaat lamanya keduanya bersitatap pandang.
"Semoga semakin sehat, yaa..." Busu menganggukkan kepala, menyudahi perasaan yang hilang timbul dengan memilih melesat pergi sebelum Nyai Fatimah sempat membalas ucapannya.
Nyai Fatimah kembali menarik kepalanya. Bau harum yang menguar membuatnya menoleh. Dan, ia tertegun. Di atas meja yang terletak di dekat pintu, dua iris jagung rebus sudah tersaji. Kapan seseorang meletakkannya di sana? Dan, bagaimana orang itu bisa membuka pintu kamar tanpa menimbulkan bunyi derit?
Sayangnya rasa lapar menyingkirkan beragam pertanyaan yang bergulir. Segera ia melangkah menuju meja dan meraih seiris jagung rebus yang uapnya masih mengepul. Setelah menarik sebuah dingklik kecil, ia mulai menyantap jagung itu dengan meniupnya berkali-kali.
"Habiskan sarapannya, Nyai. Jagung rebus bagus untuk pemulihan kesehatan." Suara berat itu membuatnya menghentikan suapan.