Lihat ke Halaman Asli

Lilik Fatimah Azzahra

TERVERIFIKASI

Wiraswasta

Cerpen: Arwah Penasaran

Diperbarui: 5 Agustus 2024   16:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Shutterstock via Kompas.com

Serombongan orang berwajah murung melintas di hadapanku. Tak ada satu pun dari mereka yang bicara. Hanya nyanyian burung gagak sesekali terdengar serak mengiringi langkah-langkah yang mengayun rampak.

Sekelebat aku melihat diriku. Iya, benar, diriku. Dalam bentuk yang lain. Berada di antara orang-orang berwajah murung itu, berjalan di barisan paling depan.

"Apa yang terjadi?" suaraku terasa tercekat di tenggorokan.

"Mati. Kamu sudah mati." Seorang laki-laki tua dengan sorban dan jubah warna putih bicara kepadaku.

"Sudah mati? Bagaimana mungkin?" Sederet pertanyaan menjejali ruang kepalaku.

"Kamu masih belum yakin kalau sudah mati? Coba bicaralah dengan dia. Dirimu sendiri yang berjalan di barisan paling depan itu." Lelaki tua itu menggamit lenganku. Mengajakku berbaur dengan rombongan aneh yang terus saja bergerak-yang entah hendak menuju ke mana.

Kiranya langkahku jauh lebih cepat dari langkah lelaki tua itu. Sebentar saja aku sudah berjalan berdampingan dengan seseorang yang menyerupai aku.

"Katakan jika ini hanya mimpi buruk!" Tanpa basa-basi aku menghardik.

"Mati bukanlah mimpi buruk. Mati adalah kepastian yang tidak bisa dihindari." Sosok yang nenyerupai diriku itu menyahut dengan tenang.

Tentu, aku sangat tidak puas mendengar pernyataan klise itu. Meski aku tahu semua orang bakal mati. Tapi yang ingin kutegaskan di sini adalah; bagaimana caraku mati? Mengapa aku tidak diberitahu secara gamblang?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline