"Saat bulan purnama muncul, saat itulah aku akan menampakkan diri menyambangimu."
Janji itu terngiang kembali di telinga Tarub. Lelaki yang tak henti merutuki diri akibat kelalaiannya sendiri.
Ya. Tarub hanya bisa pasrah. Ketika Nawangwulan secara tidak sengaja menemukan kembali selendang ajaib miliknya. Selendang yang sengaja ia sembunyikan agar perempuan jelmaan bidadari itu tidak bisa kembali pulang ke negeri kahyangan.
Andai bisa Tarub ingin sekali mencegah terjadinya kisah pahit itu. Kisah yang membuatnya harus merelakan kepergian Nawangwulan, istri tercinta.
"Jangan sekali-kali membuka tutup dandang di atas tungku itu ya, Kakang Tarub. Pamali." Begitu suatu hari Nawangwulan mewanti-wanti.
Tapi peringatan keras itu justru membuat Tarub penasaran. Saat istrinya sibuk menyusui bayi mereka di dalam kamar, diam-diam Tarub pergi menuju dapur.
Tarub sempat berdiri ragu ketika matanya tertuju pada benda berbentuk tabung di atas tungku yang asapnya sedang mengepul. Tapi rasa penasaran ternyata jauh lebih mendominasi. Sembari berjalan mindik-mindik Tarub nekat mengulurkan tangan. Dan, hup! Ia berhasil mengintip isi dandang.
Namun alangkah terkejut ia. Tersebab matanya tidak menemukan segenggam beras pun di dalam dandang seperti layaknya ibu-ibu bertanak nasi. Tarub hanya melihat sebulir padi.
Ya, sebulir!
"Astaga! Apa yang sudah Kakang lakukan?" Nawangwulan tiba-tiba muncul di ambang pintu dapur. Wajahnya merah padam.
"Anu Wul...aku hanya ingin tahu apakah nasinya sudah matang," Tarub berkilah.