Mungkin. Kau telah melupakan satu hal, kekasihku. Bahwa tak ada hari yang terlahir sama. Tak ada kopi yang mesti diracik di dapur dan di cangkir yang sama pula.
Aku. Sejak kepergianmu telah menanggalkan begitu banyak kisah. Tentang kita. Tentang purnama yang kehilangan cahaya. Juga, tentang hujan yang murung karena kehilangan sebagian tempiasnya.
Bila. Suatu hari nanti kamu rindu untuk pulang, kekasihku. Kuingatkan. Jangan lagi lewat gerbang saat engkau pergi. Sebab pintunya sudah lama rapat kukunci. Lewat saja pintu belakang. Di sana, sudah kusiapkan ribuan mata pedang. Untuk menghunjam dadamu. Berulang. Tiada terbilang!
***
Malang, 17 Oktober 202/
Lilik Fatimah Azzahra
Puisi ini diposting juga di Secangkir Kopi Bersama
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H