Ratmi terbangun di tengah malam. Menatap lekat-lekat tubuh suaminya yang pulas dengan memperdengarkan irama dengkur naik turun.
Perlahan Ratmi mengelus perutnya yang membuncit. Lalu beranjak dari pembaringan menuju meja untuk mengambil segelas air minum.
Dada perempuan muda itu terasa sesak. Kepalanya berdenyut-denyut. Pening. Seandainya tidak sedang hamil tua ingin rasanya ia menelan obat penenang sebanyak-banyaknya agar bisa tidur tenang.
Mendadak suara cempreng Mak Renta siang tadi kembali terngiang.
"Awas kalau sampai besok tunggakan uang kos tidak juga dilunasi. Kamu dan suamimu---yang pengangguran itu, harus angkat kaki dari rumahku ini!"
Ratmi mengangguk.
Ya, hanya itu yang bisa dilakukannya. Mengangguk. Bibirnya sudah terlalu lelah untuk sekadar meminta waktu penangguhan. Menjadi semakin lelah setelah melihat sikap Ramlan, suaminya, saat menanggapi peringatan Mak Renta dengan sikap acuh.
"Mak Renta barusan mengomel panjang lebar menagih uang kontrakan."Keluh Ratmi.
"Biarkan saja. Nanti ia akan capek sendiri." Ramlan menanggapi sembari mengisap sigaret di tangannya.
"Tidak bisa begitu. Kalau ia benar-benar mengusir kita, bagaimana?" Ratmi berusaha menyembunyikan perasaan khawatirnya.
"Ya, kita pergi. Kan beres." Ramlan menengadahkan kepala, menatap langit-langit kamar.