Ada baiknya, pagi ini kita berpura-pura. Tdak saling rindu. Untuk menguji sampai di mana kekuatan cinta itu. Yang konon katanya, kedalamannya melebihi palung Samudera Hindia. Dan tingginya, seribu kali lebih tinggi dari puncak Gunung Himalaya.
Aku sengaja, berpura-pura tidak membalas senyumanmu. Yang kautitip pada langit bergaun sutra biru. Karena kupikir, seorang lelaki yang mencintai kekasihnya tak akan pernah kehilangan akal. Untuk sekadar mencuri hati selihai seorang kepala begal.
Begitu juga engkau. Abaikan pesan yang kutulis di atas lembar daun lontar. Biarkan embun menghapusnya. Hingga aku menjadi setengah gila. Lalu menjelma menjadi seorang penyihir. Yang menciptakan mantra sedemikian mahir.
Ada kalanya, kita berpura-pura tidak saling jatuh cinta. Untuk menyalakan kembali api asmara yang perlahan mulai kehilangan geliat panasnya.
Kita bisa memulai semua dari awal. Dengan terang atau secara sembunyi-sembunyi. Menyajikan sajak dan puisi. Di atas meja perjamuan pagi. Lalu diam-diam kita saling memuji. Untuk kemudian tanpa sadar jatuh hati.
Ada masanya. Kita harus piawai berpura-pura. Sampai kita benar-benar menyerah dan mengaku kalah. Bahwa sesungguhnya kita tidak pernah bisa dan kuasa. Menahan gejolak cinta yang membadai sebegitu hebatnya.
***
Malang, 11 April 2020
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H