Aku terpaksa menyerobot antrean panjang orang-orang berpakaian serba putih tak kukenal itu. Mengabaikan teriakan dan umpatan mereka.
"Hei! Kau tidak boleh seenaknya menyelonong. Belum tiba giliranmu!" Seseorang bahkan menarik rambutku hingga tubuhku nyaris terjengkang. Tapi aku tidak peduli. Aku tetap nekat merandek maju ke depan.
"Tuan Malaikat Maut, beri saya penjelasan mengapa saya harus mati dengan cara seperti ini?"
Sosok yang kupanggil dengan sebutan Malaikat Maut itu menggeser duduknya sedikit. Lalu meraih sebuah buku tebal yang tergeletak di atas meja berlapis emas.
"Siapa namamu?"
"Untung."
"Tanggal lahir? Alamat?"
"Minggu pahing, 40 tahun lalu. Saya tinggal di Kampung Melati."
"Hm. Sudah kutemukan. Kampung Melati adalah gudangnya pria berpoligami. Dan kamu, salah satu di antara mereka."
Aku terdiam. Apa yang dikatakan oleh Malaikat Maut itu benar. Aku memang melakukan praktik poligami. Aku menikahi dua orang perempuan---Anisa dan Alisa.
Tentang dua perempuan itu, bukan hanya nama mereka yang mirip, tapi wajah dan postur tubuh keduanya juga sulit dibedakan.