Pagi ini, hal pertama kali yang ingin kulakukan saat terjaga dari mimpi adalah, menuliskan selarik puisi di bening bola matamu. Menggoreskan sajak-sajak beraroma wangi penuh rindu. Menorehkan satu pengakuan bahwa; hingga kini aku masih belum bisa berhenti jatuh cinta kepadamu.
Nanti, jika matahari sampai pada titik kulminasinya, akan kubacakan puisi itu dengan suara paling merdu yang pernah aku punya. Agar matahari tidak lagi menghamburkan sinar garang. Agar ia sudi menghangati rahim bumi dengan peluk paling sayang.
Kemudian, ketika senja mulai tiba di beranda diiringi senyum misterinya, akan kutunjukkan puisi itu di hadapan sekawanan burung elang dan rama-rama. Agar mereka tak lagi sangsi kala harus menjadi saksi. Tentang; sebuah hati yang tiada lelah mencintai.
Pagi ini, ketika langkahmu baru saja menapaki jalan panjang di geliat jantung Ibukota. Saat tak sengaja kau berkaca pada peluh para buruh yang dikejar beringasnya waktu. Yakinilah bahwa aku senantiasa memikirkanmu, menuliskan puisi-puisi indah itu hanya untukmu--lelaki yang pernah menitipkan seribu purnama pada luka yang perlahan mulai menemukan penawarnya.
***
Malang, 05 September 2019
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H