Ketika rindu berulah, senandung malam tak lebih dari sekadar igauan sunyi belaka. Meski bulan perawan sesorean telah berdandan memamerkan kemolekan dan keindahan tarian birahinya. Serta jajaran bintang tak henti berlomba mempersembahkan kerling paling menawan yang dimilikinya, rindu tetap saja sibuk berprasangka.
Bahwa tanpa kepastian kapan ia dan tuannya dipertemukan, maka baginya dunia hanyalah reremahan dari keping-keping rasa hampa.
Ketika rindu sampai pada batas zona kesabarannya. Ia memilih berdiri di puncak gunung paling tinggi. Memunguti sepi yang berjatuhan di atas lembar pipi-pipi daun Mahoni. Membiarkan hypotermia membekukan perih di sekujur tubuhnya. Mempersilakan maut datang menjemput sebelum tiba waktunya.
Dan, ketika rindu memutuskan untuk kembali berulah. Tak perlu lagi saling melempar tanya. Siapa sesungguhnya di antara kita--aku atau kamu, yang paling bertanggungjawab atas kematian rindu.
***
Malang, 10 Juli 2019
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H