Ketika aku kecil, setiap sore sepulang mengaji aku selalu menyempatkan diri mencuri senja. Senja yang suka menari di tepi pelataran langit berwarna jingga.
Senja yang kucuri itu diam-diam kusembunyikan di balik kerudung panjangku. Dan sesampai di rumah kubawa ia masuk ke dalam kamar--tanpa sepengetahuan Ibu tentunya. Lalu kumasukkan ke dalam botol kecil bekas anggur kolesom cap orangtua yang biasa diminum oleh Ayah.
Sembari menunggu azan Magrib tiba, aku dan senja menghabiskan waktu dengan saling bertukar cerita.
Senja paling suka mendengar kisah yang kualami di sekolah. Saat aku disetrap oleh Ibu guru dan harus berdiri di depan kelas dengan satu kaki. Sementara kedua tangan bersilang di belakang kepala memegangi ujung cuping daun telinga.
"Wah, itu tentu menyenangkan sekali! Apakah Ibu guru menghukummu karena kamu lupa mandi dan gosok gigi?" senja bertanya sembari tertawa renyah. Hingga wajahnya yang memerah dadu berubah menjadi biru.
"Bukan! Bukan karena itu. Aku disetrap karena bangun tidur kesiangan. Kukira waktu masih pukul setengah enam. Ternyata sudah hampir pukul setengah sembilan. Ketika aku masuk ke ruang kelas, pelajaran pertama hari itu hampir tuntas," jawabku seraya ikut mengumbar tawa lepas.
Suara tawa kami yang berderai membuat Ibu yang tengah menjahit celana pensi milik Ayah yang sudah luntur warnanya, buru-buru datang menghampiri.
"Kamu bercanda dengan siapa, Prita?" Ibu bertanya heran.
"Dengan senja," aku menjawab riang. Seketika Ibu menyapu pandangannya ke seluruh ruangan. Mencari-cari sesuatu. Kemudian tangannya yang lembut menyibak tirai jendela.
"Tidak ada siapa-siapa di sini, Prita. Kau jangan membohongi Ibu," kali ini suara Ibu agak meninggi.
"Ssst...biar aku saja yang bicara dengan Ibumu," bisik senja yang bersembunyi di dalam botol bekas anggur kolesom, mengagetkanku. Tentu saja itu membuatku buru-buru menutup mulut botol dengan satu jari. Dan baru menariknya kembali ketika Ibu sudah benar-benar berlalu pergi meninggalkan kamarku.