Kita beberapa kali berselisih paham. Perihal memaknai sebuah keadaan. Kamu menyukai pagi yang bermandikan bening embun. Sementara aku lebih suka senja yang berhias gelembung-gelembung sabun.
Kamu mengagumi pagi selayak melihat seorang ronin. Yang berdiri gagah di garis batas paling depan. Yang tak gentar menantang carut marut kehidupan. Tentang nanti ia kalah ataukah menang, katamu, tak perlu dipersoalkan.
Sedang bagiku, senja adalah sebaik-baik waktu. Yang piawai bersekutu menyembunyikan luka juga--rindu.
Kita tak jarang berselisih paham atas kedatangan hujan yang bertamu di tengah malam. Kamu selalu mengatakan, hujan adalah sebaik-baik utusan. Yang sengaja diperintah untuk menuntaskan rasa dahaga. Bagi para lelana yang hatinya terlanjur kerontang. Agar mereka kembali tenang untuk kemudian ingat jalan menuju pulang.
Sedang bagiku hujan tak lebih dari sekumpulan para cenayang. Yang tak henti mengucap mantra agar luka-luka akibat cinta senantiasa terjaga keabadiannya.
Aku dan kamu memang selalu berselisih paham. Tapi tidak untuk beberapa hal. Yakni cinta dan kerinduan. Aku mencintaimu. Melebihi cinta embun bening kepada dedaunan. Aku merindukanmu. Selayak ronin yang kehilangan samurainya.
Apakah hal yang demikian masih perlu diperdebatkan?
***
Malang, o2 Juli 2019
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H