Lihat ke Halaman Asli

Lilik Fatimah Azzahra

TERVERIFIKASI

Wiraswasta

Cerpen | Suatu Siang di Benteng Jalur Perbatasan

Diperbarui: 20 Juni 2019   02:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber:konfrontasi.com

Sejak di dalam kandungan Ibu sudah mendidik dan mengajariku menjadi anak pemberani. Terbiasa dengan bunyi bom yang menggelegar atau desing peluru yang tiba-tiba saja melesat teramat dekat di sekitar kami. Hingga aku lahir di barak pengungsian, di antara berkecamuknya perang, Ibu tetap menyemangatiku dan berupaya melindungi agar aku tetap hidup.

Sekarang aku sudah tumbuh menjadi gadis yang cukup umur. Dan aku tetap bertahan tinggal di tanah yang menghitam akibat berkali-kali diserang dan dibumihanguskan oleh tentara musuh. 

Sejujurnya aku tidak suka perang. Aku selalu berharap gencatan senjata akan segera berakhir. Itu mimpiku yang paling besar. Tapi apa dayaku? Aku terlanjur ditakdirkan menjadi salah satu penghuni bumi bersengketa yang selama hidupnya harus mengakrabi perang.

Demi menunjukkan rasa kecintaan terhadap tanah  air, aku mengikuti jejak Ibu. Menjadi sukarelawan di dapur umum. Memasak dan mengantarkan makanan untuk para tentara yang berjaga-jaga di sekitar benteng jalur perbatasan.

Hari itu, seperti biasa aku menenteng keranjang, berjalan tergesa menuju benteng perbatasan di mana sepasukan tentara menunggu jatah makan siang.

"Laila!" seruan itu membuat langkahku terhenti. Jamal, lelaki muda yang sudah kukenal baik itu berlari sigap menghampiriku.

"Kau agak terlambat siang ini, kenapa?" Jamal langsung meraup isi keranjang. Aku hanya tertawa. Ia memang selalu begitu. Selalu mengatakan aku datang terlambat meski sebenarnya tidak.

Sembari menunggu Jamal menghentikan gerakan tangannya, aku menatap sekeliling. Serasa ada yang aneh. Suasana tidak seperti biasanya. Lebih lengang. Hanya ada dua tiga orang tentara yang berdiri tak jauh dari benteng sepanjang 70 km dan setinggi 6 meter itu.

"Kemana mereka? Maksudku--teman-temanmu," pertanyaanku membuat Jamal tersedak. Buru-buru ia meraih botol air minum lalu menenggak isinya hingga tandas tak bersisa.

"Beberapa teman terserang sesak napas. Harus istirahat sejenak," Jamal menjelaskan seraya melempar botol minuman yang sudah kosong begitu saja. Aku menepi lalu duduk menggelosoh di dekat benteng yang berdiri kokoh. Menghilangkan penat sejenak. Membiarkan Jamal membagi-bagikan makanan kepada teman-temannya yang berulang kali melambaikan tangan.

Saat menyandarkan punggung pada benteng perbatasan itulah, tiba-tiba aku mendengar seseorang bicara padaku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline