Kisah Cinta yang Tak Terselesaikan
"Pik! Jangan menangis..." pelukan hangat Aiman sedikit menenangkan hatiku. Tapi airmataku terlanjur tumpah. Dan aku jujur tidak suka itu.
"Pik, kita masih bisa berteman, bukan?" suara Aiman kali ini agak tersendat. Aku semakin terisak. Aiman melepas pelukannya perlahan. Lalu mendudukkanku di kursi dan menggengam erat jemari tanganku.
"Aku mencintaimu, Pik. Tapi cinta saja tidak cukup. Harus ada perjuangan. Dan sayangnya aku harus kalah," Aiman menatapku dengan mata sayu. Dan lagi-lagi aku tidak suka itu!
"Sekarang tersenyumlah, Pik. Untukku. Untuk menguatkan langkahku menuju hidup yang semestinya harus kujalani," Aiman masih menatapku. Dan tangannya masih erat menggenggam jemariku. Dengan senyum yang kupaksakan, aku membalas tatapannya. Laki-laki itu tampak lega. Ia berdiri, meletakkan kedua tanganku hati-hati di atas meja.
"Pik. Semua harus diakhiri. Aku harus pergi. Selamat tinggal." Sebelum benar-benar pergi, untuk terakhir kalinya Aiman mencium lembut keningku. Ingin sekali aku membalasnya dan mencegah kepergiannya. Tapi apa dayaku?
Ia benar-benar pergi. Meninggalkanku. Menyongsong kehadiran seorang perempuan yang berjalan tergesa-gesa menuju ke arahnya. Keduanya berpelukan. Lalu saling bertautan tangan.
Sementara aku terpekur diam. Membisu. Tergeletak begitu saja di atas meja ruang kerja yang berantakan. Aku kembali menangis. Menangisi kisahku yang tak terselesaikan.
Namaku Pipik. Dan Aiman adalah penulis fiksi yang menciptakan tokoh aku.
-----
Kisah di atas sengaja saya tulis kurang dari 200 kata. Tepatnya 194 kata. Bukan apa-apa. Saya hanya sedang ingin menjajal, apakah saya bisa menulis cerpen dalam bentuk genre Flash Fiction.