Aku melihatmu masih berdiri di persimpangan jalan lengang itu. Dengan tatap mata sayu dan benak terbelenggu labirin ragu. Akankah langkahmu berlanjut ataukah harus kembali menyurut? Jika terus maju ke depan itu berarti kau harus rela meninggalkan kenangan. Jika mundur ke belakang kau tahu hidupmu akan selalu dipecundang masa silam.
Sementara hatimu telah dipenuhsesaki oleh rerimbun rindu. Rindu pada sepasang mata yang kerap membuatmu terjaga di tengah malam tanpa purnama. Rindu pada celoteh nan lucu yang mengalahkan kicau anak burung terkuku. Rindu pada aroma wangi pandan setiap kali mimpi-mimpi dan harapan tanpa sengaja berkelindan.
Gerangan, kemana rindu hendak kau pulangkan? Kau telah menciptakan jurang teramat dalam yang sengaja kaugali sendiri dengan sepenuh keangkuhan. Kau mencintainya. Tapi kau segan mengakuinya. Kau merindukannya. Tapi berusaha memungkirinya. Dasar kau memang lelaki keras kepala!
Sekarang. Rumah untuk memulangkan rindumu telah aus dimakan waktu. Tinggal puing-puing tak berbekas yang terkikis oleh hujan bertempias. Dan, airmata kekasihmu telah menjelma menjadi sepasang sayap kupu-kupu. Sedang rindumu tak lama lagi akan membeku merupa bongkahan batu. Rasakan itu!
***
Malang, 14 Mei 2019
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H